Imagini ale paginilor
PDF
ePub

Kendang, yang hanya memainkan irama lagu. Baik Gonrang Bolon, maupun Gonrang Sidua-dua memakai 4 Gong: dua Gong yang lebih besar disebut Ogung, sedangkan dua yang lebih kecil Mongmongan. Selain dari alat-alat musik diatas Gondang Batak dari Batak Simalungun juga memakai Sarune, yang berfungsi untuk memainkan melodi lagu. Fungsi dari Sarune ini nampaknya dapat juga dibawakan oleh seorang penyanyi, terutama dalam Gonrang Sidua-dua. Dalam Gonrang Simalungun terdapat juga suatu Zimbel yang disebut Talasayak, walaupun mungkin tidak begitu sering. Juga Gondang Batak dari suku Batak Angkola/Mandailing terdiri dari dua atau kalau mau dari tiga golongan: Gordang Sambilan yang memakai 9 Kendang besar, Gordang Lima yang memakai 5 Kendang dan Gondang yang hanya memakai 2 Kendang saja. Semua Kendang tersebut diatas hanya berfungsi untuk memainkan irama saja. Selain dari alat-alat musik diatas juga terdapat 4 golongan Gong : Ogung Boru-boru (Gong betina, dapat disamakan dengan Oloan dari Batak Toba), Ogung Jantan (Gong Jantan, dapat disamakan dengan Pangalusi dari Batak Toba), Doal dan Mongmongan atau Talempong, dengan catatan, bahwa kedua golongan yang akhir ini (Doal dan Mongmongan) dapat berjumlah dari dua sampai enam. Sebagai alat untuk memainkan melodi lagu dipakai sebuah seruling bambu yang disebut juga Suling (pemakaian Sarune rupanya sudah jarang), walaupun peranan ini sering dilakukan oleh seorang penyanyi. Dalam kunjungannya ke Sipirok awal tahun 1973 penulis karangan ini juga menyaksikan pemakaian suatu Zimbel, yang disebut Talisayat.

Bila kita sekarang menyimpulkan uraian kita yang pendek ini, maka dapatlah dikemukakan, bahwa pada hakekatnya Gondang Batak pada semua suku Batak mempunyai sifat yang sama, dan terdiri dari segolongan Kendang (Taging, Gordang), segolongan Gong (Ogung) dan suatu alat tiup (Sarune, Suling). Juga peranan dari Gondang Batak pada semua suku Batak menunjukkan sifat yang sama. Seperti halnya pada suku Batak Toba, juga Gondang Batak dari keempat suku Batak lainnya dewasa ini kebanyakan hanya dipakai dalam upacara-upacara yang berhubungan dengan Adat, terutama untuk mengiringi Tortor yang dilaksanakan pada kesempatan tersebut, yang semakin lama sudah semakin bersifat sekuler. Dalam pada itu dapat dikemukakan, bahwa Adat Batak yang berlandaskan Dalihan na Tolu seperti yang kita lihat diatas tadi ternyata masih berakar kuat dikalangan suku Batak, sehingga dapatlah diharapkan, bahwa Gondang Batak yang merupakan suatu musik yang paling orisinil itu akan tetap dapat mempertahankan hak hidupnya dimasa yang akan datang dan berhasil menarik perhatian para akhli, baik dari dalam, maupun dari luar negeri.

Gondang Batak (Sitamiang/Samosir). Karena Hesek-hesek tidak ada anak kecil memukul sebuah botol. Foto: L. Manik.

[graphic]
[graphic][merged small][merged small][subsumed]
[blocks in formation]

Ulrich Beyer, Entwicklung im Paradies. Sozialer Fortschritt und die Kirchen in Indonesien. Frankfurt (M) (Verlag Otto Lembeck) 1974, 253 halaman.

Buku ini adalah salah satu dari sekian banyak buku yang ditulis oleh orang Barat tentang Indonesia dengan memakai istilah Paradies (Firdaus) sebagai judul. Pada umumnya penulis yang memakai istilah ini mempunyai pandangan dan penilaian yang positip tentang apa yang ditulisnya. Buku yang berjudul "Pembangunan di (taman) Firdaus” dengan sub-judul Kemajuan Sosial dan Gereja di Indonesia, karangan Dr. Ulrich Beyer, tidak lepas dari pandangan dan penilaian seperti disebut di atas. Dr. U. Beyer, seorang Jerman, dari tahun 1966-1974 bekerja pada Huria Kristen Batak Protestan pada Fakultas Teologia di Sumiatra-Utara telah berhasil menulis buku ini berdasarkan penelitian dan pengalaman pribadinya di tengah-tengah bangsa dan rakyat Indonesia, terutama di antara masyarakat Kristen.

Hasil karyanya ini cukup menarik, bukan saja bagi penelitian gereja dan perkembangannya, juga bukan hanya kehadiran gereja di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk baik suku-bangsanya, sosial-budaya, bahasa dan dialek, geografinya dsb., juga tidak hanya membahas permasalahan seperti sosial-ekonomi, politik dan kebijaksanaan pemerintah, tradisi dan perkembangan lainnya, tetapi juga penting ialah tinjauan dan penilaian seorang yang bukan bangsa Indonesia tentang dan masalah di Indonesia. Tulisan ini sangat objektip, seimbang dan analisa timbal balik yang meyakinkan bagi segenap pembaca baik di dalam mau. pun di luar negeri.

Cara pendekatannya yang seimbang dapat kita lihat pada analisanya tentang peranan kebudayaan atau kepercayaan yang turut menentukan pandangan dan penilaian bangsa Indonesia terhadap waktu, kerja, ruang hidup dan hidup dalam persekutuan sehingga segala pola gerak-sosial seperti politik transmigrasi, industrialisasi, urbanisasi, pendidikan/pengasuhan anak-anak atau sosialisasi tidak bisa bertitik-tolak secara rasionil dalam menganalisanya. Hal yang terakhir ini diarahkan secara khusus pada masyarakat Jawa. Sedemikian objektipnya tulisan ini dan bahkan terlalu 'baik' dapat juga kita baca pada halaman 32, di mana ditulisnya "pegawai negeri tentu saja mendapat gajih yang rendah dan dengan gajihnya ini .... dapat hidup untuk selama seminggu, cara korupsi harus mengisi sisa kekurangannya". Bagi pendengaran orang Indonesia hal ini seolah-olah sudah seharusnya sedemikian atau dipandang sesuatu hal yang wajar. Bagi pembaca yang berbahasa Jerman seperti Jerman, sebagian Swiss, Au

77

« ÎnapoiContinuă »