Imagini ale paginilor
PDF
ePub

apa

sosio-edukatif. Dalam hal ini timbul pertanyaan apakah memang perlu dibuat pembedaan antara manusia ilmiah dan manusia religius kah tidak mungkin hal itu terkombinasi dalam diri seseorang? Juga pertanyaan apakah sekularisasi Barat itu tidak salah mengerti. Nampaknya ada semacam keinginan untuk melepaskan diri dari keterikatan badanbadan serta struktur-struktur sosio-religius dan otoritas pemimpin-pemimpin agama yang telah kehilangan kepercayaannya. Namun demikian itu tidak berarti sama dengan melepaskan diri keterikatan dari Tuhan. Ditegaskan bahwa pada saat ini bangsa-bangsa di Barat mempunyai keinginan mendalam mencari yang Ultimatum (Ultimate). Terutama nampak dikalangan generasi muda. Cara yang ditempuh adalah menyerahkan begitu saja soal-soal politik pada para politikus dan soal-soal agama begitu saja diserahkan pada pemimpin-pemimpin agama.

Dalam sebuah kertas kerja menyinggung peranan Ulama di Indonesia dewasa kini, seorang peserta Muslim menguraikan apa yang ia lihat sebagai suatu pertarungan antar pemimpin-pemimpin didikan-Barat (Western-educated) dengan Ulama berpendidikan-tradisionil (traditionally-educated). Posisi Ulama tetap dapat dipertahankan oleh karena semakin pentingnya agama di dalam kehidupan rakyat sehari-hari, sekalipun posisi itu sekarang ini tidak begitu dominan seperti waktu lampau dan nampaknya menciut secara bertahap. Pertarungan tersebut dilihat sebagian dari akibat sistim pendidikan yang dualistis, yang diintroduksir oleh Belanda yang kini masih diterapkan dimana sekelompok orang diberikan pendidikan "sekuler" sedangkan sekelompok lainnya diperbolehkan memperoleh pendidikan di Madrasah-Madrasah (Pesantren). Sehagian Ulama adalah lulusan dari sekolah-sekolah terakhir ini. Apabila pertarungan itu hendak dihentikan, maka jawabannya adalah menghapus sistim (pendidikan) dualistis tersebut — dan memberikan pendidikan yang meliputi pengajaran agama dan pengajaran "ilmu pengetahuan yang bersifat temporal (temporal sciences).

[ocr errors]

Apabila sekularisme diartikan sebagaimana yang digariskan oleh John Bennet sebagai "organisasi hidup yang terpisah dari Tuhan" ("the organization of life apart from God") maka ditinjau dari Islam-merupakan suatu penomena yang tidak masuk akal. Dan untuk membendung hal yang tidak masuk akal itu terutama di perguruan tinggi Malaysia, kertas kerja dari peserta Malaysia (Muslim) menerangkan dalam terminologi yang jelas mengenai model pendidikan Islam di mana Tauhidic Weltanschauung dijadikan norma (Code) dan mengkoordinir penekanan semua pengajaran dan prinsip determinis dalam proses pendidikan keseluruhannya. Dalam diskusi tmbullah pertanyaan sampai sejauh manakah model (pendidikan) itu dapat diterapkan dalam masyarakat pluralistis-religius di kawasan ASEAN, sekalipun d'rasakan bahwa "pengetahuan agama" memang jelas merupakan suatu bagian penting dari pengetahuan univers 1 manusia yang lebih mendalam sebagaimana seharusnya diberikan dalam pendidikan perguruan tinggi, Namin isi dan cara penyampaian pengetahuan tersebut adalah inti persoalannya. Perbaikan pendidikan agama di semua tingkat pengajaran juga didiskusikan.

Beberapa pemikiran di dalam kertas kerja dari peserta Islam yang dikemukakan di atas terdapat persamaan dengan pernyataan dalam kertas kerja dari peserta Katolik. Yaitu keduanya berpendapat bahwa "pembangunan" (dimengerti sebagai proses perkembangan adaptasi manusia terhadap lingkungan hidupnya yang semakin menguntungkan, menikmati serta seutuhnya; tanpa meremehkan kebutuhan spritiuil) yang didukung oleh pengajaran agama masing-masing. Penulis Katolik menekankan bahwa pada masa lampau Gereja terlalu menitik beratkan usaha penyelamatan jiwa seseorang dengan menghindari "urusan duniawi". Kini hal tersebut telah diimbangi oleh suatu penekanan memberi respons pada Injil sehingga keduanya mempersiapkan orang untuk hidup kekinian serta hidup keakanan.

Salah satu kertas kerja men-isyarat-kan betapa pentingnya doa dan komunikasi pribadi dengan Tuhan didalam segala usaha kita memperbaharui kondisi manusiawi. Pembahasan kemudian disusul dengan mempelajari kemungkinan untuk mengklasifikasikan bentuk-bentuk (tipetipe) religiositas dan pengukuran iman sebagai suatu masalah yang diteliti di bidang agama.

Beberapa lapangan untuk penelitian pada waktu mendatang

Dalam serangkaian diskusi maka jelaslah bahwa pokok-pokok dalam bidang agama dapat diterangkan melalui usaha penelitian pada waktu mendatang. Acapkali pembicara terhenti sebentar pembicaraannya dengan membuat catatan bahwa "ini perlu dipelajari lebih mendalam”.

Penelitian agama tidak dirumuskan separti suatu agenda, tetapi digambarkan oleh suatu daftar sederhana mengenai beberapa lapanggan penelitian untuk masa mendatang dengan menggaris-bawahi beberapa pokok :

Mengamati bahwa sebagian pemuda tertarik pada agama sedangkan sebagian lagi tidak, d'namika-dinamika apakah yang melatar-belakangi ketertarikan atau keterlepasan itu?

Mengakui bahwa adanya kejadian-kejadian pertobatan (perpindahan) dari satu agama ke agama lain, apakah yang menyebabkannya? Ada pelbagai mode pengalaman religius yang berbeda-beda cara menghayati agamanya. Bagaimanakah hal itu dapat dimengerti atau diterangkan?.

Bagaimana reaksi bangsa-bangsa ASEAN terhadap "pembangunan" menjelang kedatangan dunia modern?

Sebagaian besar tulisan mengenai Ulama dikarang oleh non-Ulama. Kita perlu memahami peranan Ulama yang ditinjau dari perspektip mereka sendiri.

Apakah peranan wanita, terutama kaum ibu, didalam menentukan sikap ethnis, baik secara negatip maupun secara positip, dikalangan generasi muda ?

Didalam penyampaian pengetahuan agama dan kepercayaan-kepercayaan?

Marginalisasi sekelompok manusia (masyarakat) adalah salah satu masalah utama di setiap negara ASEAN. Bagaimanakah mereka itu sampai dapat di-marginalisir didalam kawasan ini? Metode-metode apakah yang paling effektip untuk meniadakan marginalisasi?

Sementara penelitian agama dianggap suatu keharusan disemua negara ASEAN, ada beberapa negara sudah jauh lebih maju dari pada yang lain. Salah satu kertas kerja yang disampaikan Seminar mengungkapkan laporan yang komprehensif-impresif mengenai studi agama dan masyarakat di Indonesia. Penulis tersebut mengkhiri kertas kerjanya dengan suatu catatan bahwa sejumlah besar data yang bersifat empiris terdapat didalam buku-buku, majalah-majalah serta dalam berbagai hentuk publikasi menimbulkan masalah. "Masalah" yang baik ini tidak diketemukan di negara-negara ASEAN lainnya, dan diakui bahwa masih banyak lagi yang diusahakan di Indonesia - termasuk mempelajari hakekatnya secara komparatif-analistis. Para penelitian di bidang agama di dalam kawasan ASEAN perlu berkonsultasi, perlu saling memberi dorongan serta bantuan satu sama lain.

Ditinjau dari segi hubungan antar umat beragama maka penelitian di bidang agama itu seharusnya diberi dorongan sebesar-besarnya, oleh karena alasan-alasan berikutnya; (1) meningkatkan pengertian, (2) menghindarkan kesalah-pahaman serta anggapan remeh terhadap agama lain, (3) menjelaskan garis-garis persamaan dan perbedaan, dan (4) memperlancarkan penerimaan perbedaan serta pengukuhan persamaan.

Rekomendasi

Rekomendasi yang disampaikan oleh Seminar ini secara hormat diberikan pada Menteri Agama. Bahwa dibawah naungan Departemen Agama kiranya dapat dibentuk sebuah Sekretariat kecil Seminar Agama Sebagai Bidang Studi dan Penelitian. Didalam pengertian bahwa agama menunjang cita-cita pembangunan manusiawi, perdamaian serta keadilan dalam hubungan kemanusiaan, maka fungsi sekretariat adalah :

(1) menyiapkan sebuah daftar individu-individu dan lembaga-lembaga yang berkecimpung di bidang studi agama di kawasan regional ASEAN, baik secara ilmiah, komparatif, fenomenologis, kulturil, spirituil maupun teologis.

(2) menerbitkan sebuah "warta-berita" (3 bulan sekali ataupun 3 kali dalam satu tahun) sebagai suatu alat komunikasi antar individuindividu dan lembaga-lembaga (pemerintah atau swasta) yang kini terlibat dalam studi yang diuraikan di atas (1). Warta-berita ini melaporkan studi mutakhir yang dilakukan dan dalam pengembangan serta sa

ling memberikan informasi mengenai tujuan dan kegiatan sarjana-sarjana dan mahas swa-mahasiswa teologi (agama) setempat.

(3) menjajaki kemungkinan untuk menyelenggarakan seminar yang lebih religius dan regional secara presentatif berkaitan dengan fokus Seminar sekarang ini.

(4) mempelajari feasibilitas pembentukan struktur regional tingkat ASEAN yang formil (misalnya suatu ikatan profesionil atau pusat ilmiawan dan lembaga penelitian) untuk memungkinkan serta mengadakan studi dan penelitian di bidang agama di tingkat regional ASEAN. Gagasan seperti struktur atau struktur-struktur itu dapat diajukan pada Seminar diusulkan dalam (3) tersebut di atas.

Jakarta, 28 Juli 1977.

Diterjemahkan oleh :
Yahya Wiriadinata.

Alfred Schmidt, Kawan şekerja Allah, Suatu orientasi terhadap pembinaan warga gereja. Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1977, 96 halaman.

Dr. Alfred Schmidt adalah seorang teolog yang telah lama (25 tahun) berkecimpung dalam bidang pembinaan warga gereja. Dan telah banyak pengalaman di pelbagai negara. Terakhir sebelum ia bekerja di Indonesia, telah bekerja sebagai tenaga pembinaan (oikumenis) di Jepang. Datang ke Indonesia sebagai tenaga ahli diperbantukan pada Institut Oikumene Indonesia/Dewan Gereja-gereja di Indonesia. Sudah selayaknya orang mengharapkan suatu sumbangan yang khas dari latar belakang pengalaman dan pendidikannya. Dan beruntung bahwa kendati dalam masa kerja yang belum terlalu lama (4 tahun) di Indonesia, namun sempat dia tuliskan satu buku yang penting mengenai pembinaan warga gereja. Kalau bukan buku yang terpenting mengenai bidang tersebut di Indonesia saat ini.

Sesuai dengan judul dan sub-judulnya, maka buku ini mengulas beberapa pengertian dan masalah dasar mengenai pembinaan warga gereja. Suatu sumbangan yang langka bagi literatur pembinaan, dan yang nampaknya telah di lakukan dengan segala kesungguhan hati. Begitu padat namun bersifat menye. luruh. Mengingat pentingnya buku dasar semacam ini, sudah sepantasnya gereja-gereja yang melakukan pembinaan mau mengkajinya dengan sungguh-sungguh, sebagai suatu sumbangan yang bersifat oikumenis. Tanpa kesadaran oiku. menis yang tinggi maka sumbangan semacam ini akan dianggap sebagai suatu perampasan (pembajakan) hak istimewa dari para perenung teologi di Indonesia. Dan tanpa kesadaran oikumenis yang tinggi pula, akan ditafsirkan sebagai suatu sumbangan yang meringankan beban yang mungkin memang tidak mampu dilakukan sendiri oleh para pemuka gereja di Indonesia. Diperlukan suatu kejujuran untuk memahami kenyataan semacam ini. Sudah sejak lama tugas-tugas untuk merumuskan berbagai pengertian dasar mengenai pergumulan teologi di Indonesia ini dibebankan kepada para tenaga ahli asing. Keadaan semacam ini pantas dipertanyakan terlepas dari kwalitas sumbangan yang me mang rata-rata dikerjakan dengan segala kesungguhan. Apakah ada pengaruh dari pihak penerbit buku, ataukah memang belum ada tradisi bagi para pe. mikir teologi di Indonesia untuk menuliskan pemikiran-pemikiran mereka. Atau apakah mereka tidak melihat ada urgensi untuk merumuskan dasar-dasar pemikiran mereka; yang kebanyakan berhenti ketika mereka habis menuliskan

« ÎnapoiContinuă »