Imagini ale paginilor
PDF
ePub

MENATA KEMBALI KEHIDUPAN BERSAMA ALAM

oleh :

th. sumartana

Peradaban dan alam

Semula manusia lengket pada alam. Menjadi bagian yang utuh dari kandungan alam sebagai makhluk ciptaan yang belum berkesadaran pribadi. Seperti bayi yang melingkar di perut ibunya. Segala sesuatu untuk menghidupinya masih disuplai langsung oleh alam, tanpa upaya. Sampai pada suatu ketika manusia memecahkan kandungan ibunya dengan batu kasar yang diperolehnya. Itu terjadi pada jaman Batu Tua; lalu dikenallah kelahiran nenek moyang manusia pertama sebagai 'Orang Jawa' dan orang 'Peking' (Pithecanthropus erectus dan Sinanthropus pekinesis).

Awal sejarah peradaban pun dimulai. Manusia mulai mengasah batu, mengenal metal, mulai belajar bercocok tanam dan memelihara hewan. Kemampuan intelektual mereka sudah pula bisa memilah-milah fenomena alam yang mereka temui, mengklasifikasikan fakta-fakta dalam berbagai susunan pikiran dan ungkapan meskipun masih dalam cara sederhana. Menghadapi lingkungan alam semesta yang besar mereka takjub, takut dan merasa tergantung tanpa daya. Alam lalu diperlakukan sebagai penentu nasib yang patut disembah. Respons religius ini pula merupakan pertanda ketika manusia berhasil mengambil jarak terhadap alam. Mereka menghadapi alam sebagai kekuatan yang menentukan hidup-mati mereka. Alam adalah subyek dan manusia obyek. Keangkeran alam yang penuh kuasa disambut dengan banyak upacara untuk menyatakan rasa tunduk mereka terhadap kedaulatan alam. Pemujaan dan pemuliaan manusia terhadap alam menjamin terjaganya campur-tangan manusia yang akan merusak, sehingga untuk waktu yang amat lama alam tinggal lestari. Hubungan antara alam dan segenap penghuninya harmonis. Masing-masing saling membina daya tahan alamiah untuk tetap survive.

Sampai pada akhirnya hubungan yang harmonis alamiah itu pecah diharu-biru oleh peradaban teknokratis. Yang sering pula disanjung se

bagai 'puncak peradaban'. Yaitu ketika manusia sudah menjelma menjadi subyek yang otonom, setelah merebut tahta alam dan menduduki singgasana sebagai penguasa dan penakluk alam. Perkembangan yang berbalik ini terutama dimungkinkan oleh daya ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang semakin memampukan manusia mengambil jarak terhadap alam dan mengobyekkannya. Kini manusia mengeksploitir alam. Mengenal alat-alat supra modern untuk menundukkan alam. Hal ini berjalan sejajar dengan haknya sebagai penguasa alam yang semakin hari semakin besar. Revolusi industri yang didukung oleh 'etika pengusaha' yang menekankan pribadi sebagai pemilik, tak ayal menyebabkan munculnya kesadaran bahwa alam dengan segenap isinya adalah milik semata.

Milik dianggap sebagai penentu kwalitas hidup. Semakin banyak milik semakin dianggap tinggi kwalitas hidup. Lingkungan alam bukan pertama-tama diakui sebagai pemberi serta pendukung kehidupan akan tetapi diperlakukan sebagai sumber kenikmatan hidup. Suatu mandat peradaban modern telah menciptakan sikap tanpa hormat kepada alam. Menyepelekan alam dan memperlakukannya seperti kuda tunggang yang terus menerus dipacu tanpa diberi imbalan yang pantas untuk memulihkan tenaganya. Akibatnya ia makin kurus dan habis daya.

Belum lama berselang umpan balik peradaban telah memberikan tanda awas mengenai krisis lingkungan alam yang mengancam kehidupan. Tanda awas itu makin lama makin nyaring dan sudah berubah menjadi jeritan. Barulah orang berramai-ramai menyadari tugasnya untuk memelihara lingkungan. Sebenarnya sudah sejak lama para ahli botani, ahli biologi serta para pencinta alam memperingatkan bahwa alam dan segala bentuk organisme, tetumbuhan dan benda-benda saling tergantung satu sama lain, saling berpengaruh secara timbal balik. Bahwa tak ada entitas yang tinggal terisolir. Namun apa yang kini disebut sebagai 'krisis ekologis' benar-benar mempertaruhkan kelangsungan seluruh kehidupan. Yakni suatu krisis yang terjadi di dataran biosfer yang menyebabkan alam tak mampu lagi mendukung kehidupan. (catatan: Menurut Teilhard de Chardin, maka yang disebut biosfer bukan hanya permukaan periferal dari kulit bumi, melainkan suatu substansi organik yang membungkus bumi yang melahirkan dan memelihara kehidupan; serta merupakan suatu sistim dimana kita dapat melihat hubungan yang tak terpisahkan antara biologi, fisik dan astronomi dalam suatu dinamisme kosmik yang sama).

Kerusakan alam yang kita derita

Kita hidup di tengah-tengah dunia modern sebagai bangsa yang 'lahir terhambat'. Munculnya dunia modern pertama-tama kita alami sebagai penjajah yang kuat dan agresif. Kehadirannya telah memberikan pengaruh yang amat mendalam pada tata hidup dan tata nilai kita. Belum berapa lama kita masih menyembah alam, bahkan dalam banyak sektor kehidupan kita masih berfikir pra-logis. Ketakhayulan dan sikap pasrah terhadap nasib masih meraja-lela. Dan belum berapa lama pula kita terdesak oleh lingkungan modern serta tuntutan hidup untuk mem

perlakukan alam sebagai obyek. Kita dipaksa untuk membina sikap hidup serta alam berpikir yang baru demi kelangsungan hidup.

Kemudian dengan panji-panji kemajuan, pembangunan dan modernisasi kita maju menggasak alam demi untuk memajukan taraf hidup ke tingkat yang lebih layak. Kegandrungan hidup modern dengan segala sistim nilainya ini telah menyebabkan kita lupa bagaimana cara memperlakukan alam yang tadinya kita sembah. Yang mendesak di hadapan kita adalah tuntutan bahwa dalam waktu dekat kita harus menyediakan segala kebutuhan hidup kita. Dengan cara mengambil alih dan menerapkan teknologi modern. Dalam istilah 'penerapan teknologi' (yakni teknologi sebagai unsur yang datang dari luar) inipun sudah menunjukkan betapa loncatan yang kita buat dalam sekejap, dalam mengambil sikap terhadap alam wan lingkungan hidup. Meloncat dari penyembah alam ke de-sakralisasi secara total.

Namun di tengah-tengah usaha yang sedang giat-giatnya dilakukan dalam akselerasi pembangunan ini muncullah persoalan mengenai krisis lingkungan kehidupan. Segera pula kita tertulari oleh ekses dari dunia modern sebagai konsekwensi langsung dari sikap eksploitatif tehadap alam. Terdengar berita di mana-mana mengenai pembabatan hutan tanpa peremajaan kembali, sementara harga jualnya tidak terlalu tinggi. Gunung-gunung diinjak-injak dikotori dan digunduli, sehingga persediaan air di permukaan tanah menipis. Dan bahaya kekeringan, erosi dan banjir lalu mengancam di daerah dataran yang lebih rendah. Sungai-sungai penuh dengan sampah, zat-zat kimia yang sukar larut, bahan-bahan plastik, bekas minyak yang merusak sumber air minum. Lingkungan hidup bertambah sesak, kotor dan berbau. Udara pengap tercemar asap kendaraan dan pabrik. Sementara itu pengurasan intensif akan menghabiskan sumber-sumber energi seperti minyak bumi dan barangbarang tambang lainnya serta bahan-bahan baku yang amat terbatas. Di samping itu daya dukung alam terhadap penduduk yang semakin padat juga terbatas. Daya serap alam terhadap polusi yang dihasilkan oleh proses produksi juga terbatas, sehingga ia akan menjadi racun yang merusak. Pada titik ini muncullah suatu dilema apakah pemeliharaan lingkungan dapat ditunda demi 'pembangunan'? Apakah kelaparan, kemiskinan dapat diatasi dengan suatu cara 'pembangunan' yang akan mengantar lingkungan hidup pada kematian ekologis?

Di satu pihak tak dapat disangkal bahwa diperlukan suatu cara yang efisien untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan teknologi modern telah banyak menolong untuk menggantikan cara yang kurang efisien dengan cara produksi baru yang lebih hemat. Di samping itu kebutuhan jumlah barang semakin meningkat, serta sumber-sumber alam semakin menipis. Namun salah satu faktor yang perlu untuk dipikirkan ialah bahwa serentak dengan pilihan-pilihan tersebut ada suatu aspek yang pengaruhnya amat besar yaitu tuntutan terhadap taraf hidup yang lebih tinggi, yang semakin hari semakin meninggi sesuai dengan standard kehidupan di negara-negara yang sudah kaya dan maju. Dan cara produksi yang efisien ini pada dasarnya dipergunakan untuk memenuhi selera akan konsumsi tinggi tersebut, serta kehausan akan kelezatan. Sehingga pence

maran lingkungan hidup selalu erat terkait dengan suatu proses produksi yang menghasilkan barang-barang penikmat hidup. Tekanan dari kemajuan teknologi dan penerapannya bukan lagi dipergunakan untuk mendukung tingkat survival dari banyak orang, akan tetapi terlebih untuk mengejar dan mendukung kenikmatan hidup bagi sebagian kecil orang. Sehingga akan timbul kecenderungan bahwa kondisi alam dirusakkan bukan oleh usaha untuk mempertahankan hidup; akan tetapi untuk melayani selera kerakusan akan barang-barang mewah dan untuk menumpuk milik.

Usaha untuk memulihkan lingkungan hidup yang telah dirusakkan memerlukan beaya besar. Anehnya, sehubungan dengan implikasi beaya ini, sedikit sekali orang mau berbicara tentang soal siapa yang harus membayar ongkos pemulihan lingkungan tersebut. Perusahaan-perusahaan besar yang menggalakkan selera kemewahan dan yang mempunyai andil besar dalam pengrusakan lingkungan tersebut dalam 'cost-benefit analysis'nya tidak memperhitungkan beaya pengrusakan lingkungan. Tak ada kesediaan untuk turut menanggung beaya. Baik producer maupun consumer dari barang-barang mewah yang mahal ini tidak tersentuh oleh soal pembeayaan perbaikan lingkungan hidup. Sementara kebanyakan rakyat yang hidup dalam taraf mempertahankan survival harus tetap berkorban banyak. Baik yang berupa praktek penggusuran maupun dalam bentuk gaji buruh yang rendah. Inkonsistensi semacam ini memberikan suatu gambaran bagaimana cara suatu keputusan 'politik' dibuat. Yang pada galibnya mengabaikan soal beban sosial. Dalam konteks semacam ini tak sukar untuk memahami kesimpulan imperatif dari seorang ahli seperti Gunnar Myrdal yang berkata bahwa 'the ecosystem has to be studied as part of the social system'.

Jakarta: kota padat penduduk yang butuh alam penyejuk

Jakarta merupakan contoh dramatik dari satu daerah padat penduduk yang butuh lingkungan alam yang sejuk untuk mendukung kehidupan kota yang aktif sepanjang waktu. Jakarta ternama sebagai kota niaga /jasa, administrasi, budaya, pariwisata dan kota industri sekaligus. Nama yang bukan hanya berarti prestise akan tetapi beban nyata.

Luas wilayahnya 600 Km persegi (dibulatkan ke bawah, sesungguhnya 665.783 Km persegi termasuk kepulauan Seribu), dengan penduduk 6 juta orang (angka tahun 1976 adalah 5.745.675 orang dengan pertambahan penduduk 5,8% per tahun), dengan jumlah kendaraan bermotor sekitar 600.000 buah (tahun 1976 sebanyak 560.229 dengan kenaikan ratarata 16,74% per tahun).

Ditengok dari arah angkasa, maka keseluruhan kota Jakarta memantulkan warna cokelat tua dari genting rumah-rumah yang padat berdesakan. Rupa yang tak terlalu sedap dipandang. Ditinjau dari dekat, Jakarta lebih padat dari yang diduga. Di kampung-kampung orang seperti tak habis-habisnya bekerja untuk menyambung hidup. Arus urbanisasi yang kian meningkat bukan hanya membawa makhluk yang bernama manusia, akan tetapi juga beserta dengan segenap ciri-ciri kemiskinannya. Datang ke Jakarta nyaris hanya membawa nyawa, tanpa modal dan

tanpa kebisaan apa-apa. Jakarta harus menanggung ongkos hidup mereka.

Mereka menguber sisa-sisa kota Jakarta. Mendapat makan dari kotoran yang sudah dibuang dari perut kota. Permukiman mereka serba darurat, dan memadati Jakarta tanpa mengacuhkan sistim pengaturan perumahan yang sudah digariskan oleh pemerintah daerah. Dan apa yang mereka buang, yaitu tinja, sampah dan kekotoran lainnya (diri mereka juga?) menyebabkan lingkungan mengalami proses degenerasi. Membahayakan kesehatan.

Namun soal urbanisasi ini dapat pula ditinjau dari segi lain. Sebab kota seperti Jakarta memang sudah sejak lama hidup dari ketergantungannya pada suplai desa. Sejak jaman penjajahan dulu, 'desa' sudah terkuras habis untuk membeayai kemewahan hidup kaum penjajah yang tinggal di kota, serta untuk mempertahankan standard hidup golongan elite baik pribumi maupun non-pribumi di kota. Sehingga proses urbanisasi dengan segala kejembelannya dapat dianggap sebagai salah satu cara alamiah untuk membayar hutang para proses pemiskinan desa yang kekayaannya habis tersedot oleh kota.

Sebagai kota industri, maka ribuan pabrik mengepung Jakarta. Kotoran yang dihasilkannya, baik berupa cairan, gas maupun benda-benda seperti kaleng, bungkus plastik harus diserap oleh lingkungan alam kota yang semakin sempit dan semakin lemah daya serapnya. Sebagai kota pariwisata, Jakarta harus kelihatan cantik. Untuk itu hotel-hotel megah telah memenuhi segala sudut jalan yang strategis, dengan tampang jendela kamarnya yang khas dan misterius. Demikian pula sebagai kota niaga/jasa, adsministrasi, maka Jakarta harus memiliki sarana transportasi yang dapat mengantar orang ke tempat tujuan dengan segera. Semakin sempitnya tempat-tempat lapang, perbandingan antara luas/panjang jalan dan banyaknya kendaraan yang tak setara menyebabkan jalanan meruapkan perasaan pengap, terburu-buru dan kelelahan mental. Dan akhirnya sebagai Daerah Khusus Ibukota dari republik yang besar maka Jakarta adalah pintu gerbang bangsa yang harus berpribadi dan bahkan berideologi.

Untuk itu semua Jakarta mutlak membutuhkan lingkungan alam yang nyaman serta mampu merangsang kreatifitas. Sadar akan tugasnya, maka pada tahun 1970 dibentuklah Dinas Pertamanan di DKI dengan tugas membangun taman, jalur hijau, cagar alam dan tanaman pelindung di sepanjang jalan. Semuanya akan memberikan kesejukan, variasi, perasaan lapang serta sumber oksigen. Daerah-daerah seperti Taman Monas, Taman Pulo Mas, Taman Ancol, Kompleks Senayan memang telah beruntung menjadi hijau segar. Demikian pula wilayah Condet yang tetap rimbun dan asli. Belum termasuk tanaman di sepanjang jalan yang memberi keteduhan. Masih banyak lagi daerah-daerah yang akan dijadikan jalur hijau. Disebutkan bahwa untuk melaksanakan penghijauan sesuai dengan Rencana Induk DKI diperlukan beaya Rp 53 milyar.

Pada akhirnya adalah soal beaya. Sudah amat nyata bahwa tanggungjawab pemerintah DKI tidaklah ringan, tidak pula gampang. Sebab

« ÎnapoiContinuă »