Imagini ale paginilor
PDF
ePub

kemiskinan, kebodohan serta ketergantungan secara ekonomis pada "golongan ekonomi kuat" di daerah itu.

2. Penduduk suku-suku pendatang yang relatip besar dan kuat adalah golongan Cina. Jumlah penduduk golongan tersebut, tidak termasuk mereka yang sudah menjadi WNI, berjumlah 158.408 orang. Sekalipun angka itu jauh daripada penduduk pribumi tetapi memiliki prosentasi yang amat tinggi. Mereka memusatkan diri pada kota-kota sehingga jumlahnya lebih besar daripada penduduk pribumi di kotakota tertentu. Dan lebih dari itu, jumlah terbesar dari orang-orang Cina asing di republik ini justru adalah di Kalimantan (Pontianak 164.745, DKI Jakarta 161.745, Surabaya 132.181, Medan 129.408, Palembang 127.194).

Kebolehan golongan tersebut dalam bidang perdagangan dan ekonomi di daerah itu erat hubungannya dengan keberhasilan imigran-imigran Cina dalam meletakkan dasar strukturil ekonomi pada abad ke delapan belas dibawah pemerintahanan koloni Lan-fong. Namun harus kita tegaskan bahwa kedudukan orang-orang Cina di Kalimantan Barat tidak dapat dikategorikan sebagai "golongan ekonomi kuat" sebagaimana biasanya disebut terhadap golongan yang sama di Jawa. Banyak orang Cina disana membuka toko-toko tetapi lebih banyak lagi yang menjadi kuli-kuli, petani, nelayan, pembantu rumah, penjual air dan sebagainya yang hidup sederhana. Orang Cina yang "susah" lebih banyak daripada orang Cina yang "senang" di wilayah itu.

Oleh karena tekanan hidup, terutama setelah meletusnya peristiwa "Mangkok Merah" 1967 banyak di antara mereka bertransmigrasi lokal; dari pedalaman ke daerah pantai dan dari pedesaan ke kota-kota besar bahkan banyak pemuda yang pergi ke Jawa.

Golongan penduduk ini sekarang sedang menghadapi tantangan berat dalam kehidupan integrasi akibat pergolakan politis dan pengaruhpengaruh dari seberang perbatasan.

3. Penduduk yang berasal dari kelompok suku pendatang lain yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Barat adalah suku Melayu, transmigran-transmigran berasal dari Jawa, Madura dan Sumatera. Khususnya suku Melayu, berasal dari Tanah Melayu dan Serawak lebih mampu berintegrasi dengan penduduk pribumi. Bila dilihat secara fisik sulit membedakan antar suku Melayu dan suku Dayak. Penduduk pribumi yang sudah berintegrasi dengan suku Melayu biasanya tidak lagi menyebut dirinya sebagai suku Dayak, tetapi suku Melayu. Mungkin hal ini erat sekali dengan faktorfaktor keagamaan.

Hampir sama nasibnya seperti suku Dayak, suku Melayu yang semula berkuasa dibidang perdagangan di daerah pantai akhirnya terdesak mundur oleh pengusaha-pengusaha Cina.

Apa yang hendak diutarakan adalah bahwa dalam kelompok-kelompok yang berbeda-beda itu baik kepentingan maupun hubungan serta integrasinya pada masa lampau telah menimbulkan pelbagai masalah. "Status guo" yang dipertahankan kelompok-kelompok itu sangat menghambat usaha integrasi sukubangsa di wilayah tersebut. Berda

sarkan observasi dari dekat, ada tiga gejala aktuil yang mungkin bisa memperhambat proses integrasi dan kesatuan bangsa dalam konteks wilayah Kalimantan Barat:

(a) Penyebaran dan pemusatan penduduk golongan Cina

Memang sejak semula, ketika imigran-imigran Cina berbondong-bondong datang ke Kalimantan Barat, banyak diantara mereka sudah bermukim di daerah pantai yang termasuk dalam Kabupaten Sambas, kabupaten Pontianak dan kabupaten Ketapang. Sebagian kecil berdiam di pedalaman, seperti kabupaten Sintang dan kabupaten Putusibao. Namun penyebaran penduduk golongan Cina belakangan ini memperlihatkan gejala yang "tidak stabil", yakni semakin berkurang penduduk Cina di daerah pedalaman dan semakin bertambahnya jumlah penduduk Cina di daerah pantai terutama di kota-kotanya. (Menurut pengakuan penduduk setempat hal ini disebabkan adanya tekanan dari perubahan situasi sosial setelah peristiwa 1967). Akibatnya muncullah "kota Hongkong" di Singkawang, dengan segala ciri-ciri kecinaannya. Kota Pontianak dengan toko-toko dan restaurant-restourant Cina hampir mirip sekali dengan toko-toko dan restourant-restourant Cina di Hokkian Street di Singapura. Konsentrasi penduduk golongan Cina di kota-kota daerah pantai dengan sendirinya memperkuat ketertutupan kelompok sosial itu.

(b) Affiliasi dan keterikatan pada kebudayaan lama

Latarbelakang historis serta perkembangan keberadaan golongan Cina di wilayah Kalimantan Barat sebagaimana sudah diutarakan di atas, menyebabkan semakin kuat dan kokohnya masyarakat Cina di sana. Sekalipun hal itu tidak berarti selalu negatip. Keterikatan serta affiliasi pada kebudayaan negeri leluhurnya nampak dalam praktek-praktek kulturil dan religious mereka. Bangunan kelenteng-kelenteng, dalam bentuk besar dan kecil, mewah dan sederhana, warna-warni dapat kita lihat sepanjang jalan raya dari Siantan sampai Singkawang. Pemeluk agama Kong-hu-cu masih kuat.

Affiliasi serta keterikatan pada kebudayaan lama itu terlihat jelas dalam dialek Tio-ciu, Hakka, Ho-po dan sebagainya yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Cina di sana. Generasi muda dari golongan Cina dibawah umur 16 tahun, yang sebenarnya tidak lagi mengikuti pendidikan sekolah Cina (sekolah-sekolah Cina di tutup pada tahun 1959-1965), masih tetap pandai berbahasa Cina. Bahkan penggunaan bahasa atau dialek Cina itu juga dipraktekkan dalam sekolah diluar jam pelajaran.

Affilasi serta keterikatan pada kebudayaan lama itu juga terlihat nyata dalam perayaan-perayaan hari besar Cina. Praktek-praktek keagamaan dan kebudayaan lama begitu kuatnya sehingga dapat kita saksikan adanya pemunculan arak-arakan Naga (Liong) ditengah-tengah kota Singkawang (1975) dan kota Pontianak (1976). Ratusan ribu penduduk Cina yang menyaksikan 'peristiwa penting" itu mencerminkan betapa kuatnya keterikatan mereka pada kebudayaan negeri leluhurnya. Sekalipun hampir sepuluh tahun lebih si Naga menyembunyikan diri.

(c) Jumlah warganegara asing (Cina) sangat besar Masalah kewarganegaraan merupakan suatu masalah urgen bagi penduduk WNA Cina di daerah ini. Karena jumlah warganegara Cina sangat besar b la dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Sebelumnya, 1963-1965, ada kecenderungan golongan tersebut menolak masuk kewarganegaraan Indonesia. Walaupun diberi kesempatan seluas-luasnya. Tetapi sekarang ini, setelah 1967, justru ada kecenderungan untuk melepaskan kewarganegaraan Cina dan menjadi warganegara Indonesia, sekalipun prosedurnya sangat ketat dan berbelitbelit. Diduga faktor keselamatan keberadaan mereka untuk jangkapanjang merupakan suatu dorongan kuat untuk memilih kewarganegaraan Indonesia. Bagaimanapun jumlah WNA Cina yang dikabulkan permohonannya menjadi WNI namun jumlahnya tak terlalu besar.

Dengan adanya golongan WNA Cina yang cukup besar (jumlah WNA Cina 158.408 orang) sudah tentu mempunyai pengaruh tertentu terhadap penduduk WNI keturunan Cina, yang acapkali menyulitkan mereka menempatkan diri dalam masyarakat Bhineka Tunggal ika di wilayah tersebut. Lebih dari itu, besarnya jumlah WNA Cina di daerah frontier yang amat rawan itu tidak mustahil bila mungkin dapat menimbulkan implikasi-implikasi politis tertentu, yang justru membahayakan ketahanan nasional.

(3) Perspektip pembinaan integrasi dan kesatuan bangsa di Kalimantan Barat

Sampai sejauh manakah faktor-faktor yang bisa menghambat proses integrasi sebagaimana diuraikan di atas dapat mempengaruhi arah dan bentuk integrasi dan kesatuan bangsa di wilayah tersebut masih memerlukan pembuktian. Tetapi jelas bahwa setiap tindakan ke arah pembinaan di bidang itu harus dipertimbangkan faktor-faktor tersebut. Cara penanganan masalah non pribumi di Kalimantan Barat harus dibedakan dengan cara penanganan masalah yang sama di daerah lain.

Sejak perubahan situasi sosial-politis tahun 1965, pemerintah daerah sudah bertekad untuk memberi perhatian khusus terhadap pembinaan kesatuan bangsa berdasarkan masyarakat Bhineka Tunggal Ika di daerah tersebut. Di dalam kegiatan sosial yang dapat mengikut-sertakan semua unsur sukubangsa, merupakan suatu tindakan yang bijaksana, Dan akan mendapat response yang positip dari masyarakat umum khususnya masyarakatt non pribumi. Usaha integrasi melalui pendidikan dengan sistim pembaharuan, sekalipun mungkin bisa terjadi semacam pengelompokan baru akibat effek sampingan, tetapi usaha itu sudah melangkah setapak ke arah proses integrasi yang tepat. Pembinaan integrasi melalui bidang olah-raga dan bidang pembinaan generasi muda memungkinkan terjadinya kontak-kontak yang kreatip dan individual antar sukubangsa. Pelaksanaan pendidikan masyarakat, pembinaan kemampuan berbahasa Indonesia dikalangan penduduk keturunan Cina, pembinaan kesenian, apresiasi seni budaya dan seterusnya juga memberikan kemungkinan untuk menggalang perasaan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Namun demikian perlu kiranya kita menilai usaha integrasi dan kesatuan bangsa yang tengah dilakukan dewasa ini di daerah tersebut secara jujur. Sampai sejauh manakah usaha tersebut benar-benar dihayati oleh semua lapisan masyarakat di sana yang mempunyai kepentingan-kepentingan tersendiri dan apakah rasa kebhineka-tunggal-ikaan telah benar-benar diresapi oleh golongan non pribumi? Laporan-laporan baik secara resmi atau tidak tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam rangka melaksanakan asimilasi dan integrasi bangsa antara lain misalnya kaitannya dengan sikap mental yang enggan bersedia berintegrasi, rintangan psikologis dan sebagainya menggugah kita untuk berpikir secara lebih mendalam.

Dalam memperlancar proses integrasi bangsa yang menuju ke arah persatuan dan kesatuan nasional mungkin sudah tiba waktunya untuk bersama-sama memakai "satu bahasa", yaitu "bahasa" Indonesia yang mencerminkan kesediaan untuk saling menerima antara sukubangsa Indonesia, khususnya antara golongan "pribumi", dan "Non pribumi". Apakah tidak lebih baik kalau istilah-istilah yang bersifat serta berbau pembedaan dan perbedaan seperti "non pribumi", "WNI keturunan asing", "penduduk tidak asli" dan seterusnya dihapus dan diganti dengan istilah yang integratip, yaitu bangsa Indonesia? Sebab bila istilah-istilah lama itu tetap dipertahankan secara tidak sadar kita masih tidak bisa berpikir secara Bhineka-Tunggal-Ika dan tetap menghendaki pemisahan saudarasaudara keturunan asing dari keluarga besar sukubangsa Indonesia. Pembinaan kesadaran kesatuan bangsa itulah yang mendorong kita menegakkan masyarakat Bhineka tetapi Tunggal Ika, masyarakat yang religious-sosialistis.

Dalam konteks inilah kita mengharapkan partisipasi yang positip dari gereja-gereja Kalimantan Barat pada umumnya dan gereja-gereja GK KB pada khususnya untuk membantu usaha integrasi dan kesatuan bangsa yang sedang dilaksanakan pemerintah daerah. Tugas tersebut sesuai dengan panggilan Tuhannya dan bukan semacam beban tambahan yang harus dilayani gereja. Bahkan gereja-gereja GKKB harus melihatnya dari visi keberadaannya ditengah-tengah masyarakat non-pribumi.

Th. sumartana

MENGENANG PAK LEIMENA
(Sebuah renungan pribadi)

Seorang yang taat dan mencintai rakyat telah mendahului kita. Telah ditempuhnya hari-hari usianya yang panjang dengan upaya untuk melakukan ketaatannya kepada Tuhan, dan kecintaannya kepada rakyat, bangsa dan negara. Kepergiannya meninggalkan banyak riwayat untuk dikenang. Hidupnya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan persekutuan dan kehidupan bangsanya. Kenangan padanya menempatkan kita pada tapak-tapak yang telah dilaluinya. Yakni tapak-tapak seorang beriman yang berjalan di tengah-tengah jaman dan bangsa yang senantiasa resah dan bergejolak. Langkah-langkah yang telah diambilnya telah menyejarah, masih berlaku, dan suaranya tetap bergaung ke mana-mana sepadan dengan peranan yang telah ia lakukan. Keputusankeputusannya memberikan cermin pada setiap generasi yang harus berjuang untuk memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan pelik yang tersedia. Sampai pada masa-masa ketika ujung hidup telah muncul di hadapannya, ia masih nampak sebagai seorang yang mengandalkan sikap 'tenang' dalam menghadapi soal, sekaligus tanpa menyembunyikan jiwanya yang resah mengingat konsekwensi-konsekwensi yang mungkin harus ditanggung oleh sesamanya dalam pemecahan masalah yang diajukan. Menggali riwayat orang ini berarti kita menggali segenap potensi serta kemungkinan yang mungkin tak terduga dalam sejarah bangsa kita, baik kesempatan maupun kesempitan yang ada padanya. Namun, ia akan hidup dalam diri kita setiap kali berjuang untuk mewujudkan ketaatan kita kepada Tuhan dan kecintaan kita kepada rakyat dan sesama kita. Ia berdiri sebagai sumber ilham yang telah kita terima.

Kepergiannya memberikan kepada kita hikmah. Ketentuan hidup telah mengajar kita untuk bersikap lapang menerima kepergiannya. Satu lagi putra bangsa telah membuat kita agar semakin bijak, agar berendah hati terhadap ketentuan alamiah tersebut. Sebab kepergiannya dengan nyata telah menunjukkan dengan nyata adanya suatu gerak sejarah

« ÎnapoiContinuă »