Imagini ale paginilor
PDF
ePub

bagai hubungan antara gereja-gereja di Barat dan gereja-gereja di negara berkembang. Kita harus pula mengertikannya sebagai hubungan antar gereja-gereja sendiri di satu wilayah tertentu ataupun di satu benua yang sama. Persekutuan regional demikian ini sangat penting sebagai cara hidup bertetangga yang baik, tenggang-menenggang dan bahu-membahu menanggung beban bersama sewilayah yang sama. Hanya dengan begitulah keesaan gereja itu bisa dihayati dan digumuli dan hanya dari situ sajalah bakal tumbuh hubungan partner yang tulen dengan gereja-gereja di negeri-negeri lainnya di luar wilayah sendiri. Dengan kata lain: proses menemukan-diri gereja-gereja hanyalah mungkin dalam saling mengadakan hubungan dan proses ini bukan terisolir terjadinya, sebab yang penting di sini bukannya sejarah sendiri (sejarah gerejanya ataupun sejarah bangsanya) yang mempertanyakan kredibilitas masing masing gereja, melainkan terutama Injil itu sendirilah yang akan menyoroti dan menegur serta membaharui tingkahlaku gereja-gereja. Injil itulah yang melaksanakan fungsi kritis, baik terhadap kebudayaan, maupun terhadap agama Kristen itu sendiri.

5. Adapun berdikari atau mendiri (dewasa) itu bukannya tujuan akhir yang hendak dicapai gereja, melainkan cuma merupakan dasar untuk melakukan pelayanan bersama dengan semua gereja yang lain dalam memashurkan Injil di seluruh muka bumi. Dalam hubungan ini maka upaya-upaya regional ataupun lokal mestilah dilihat sebagai bagian dari pemashuran Injil di dunia. Karena itulah hendaknya menjadi jelas bagi gereja-gereja dalam usaha-usaha membina dan memperkembangkan tanggungjawab misionernya, bahwa tak ada satu gereja manapun di dunia ini yang bertindak semata-mata cuma selaku gereja-gereja pemberi terhadap yang lainnya, tanpa sekaligus sebagai gereja-gereja penerima, dan sebaliknya pula, tak ada gereja yang cuma menerima tanpa sekaligus memberi. Dengan meyakini hal ini sedalam-dalamnya maka gereja-gereja yang secara finansiil meskipun akan mampu menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi pekerjaan bersama, dengan tidak usah diharubiru oleh rasa rendahdiri.

6. Partnership di antara gereja-gereja/badan-badan pekabaran Injil luarnegeri dengan gereja-gereja di negara-negara berkembang hendaklah kita pahami terutama sebagai roh persaudaraan, sebagai semangat persaudaraan atas nama Yesus Kristus yang tersalib dan yang bangkit dari kematian, dan semangat ini menerbitkan tiga macam kebersamaan bagi semua pihak yang bersangkutan :

pengakuan bersama terhadap Kristus sambil menghargai keanekaragaman kharismata gereja-gereja (rupa-rupa paham theologianya, dll.) memikul beban bersama dari sejarah masalampau (kolonialisme-imperialisme)

bersamaan terpanggil memashurkan Injil Keselamatan, Injil Yesus Kristus.

Dari kebersamaan ini maka hubungan-hubungan kita antara sesama akan selalu dipertanyakan dan itu sebabnya pembaharuan cara berpikir dan cara bertindak semua pihak sangat diperlukan. Tidaklah cukup, misalnya,

bahwa gereja-gereja Barat hanya menggumuli masalah-masalah gerejagereja di negara-negara berkembang, tanpa membicarakan masalah-masalahnya sendiri dengan gereja-gereja ini serta bersama-sama menggumuli pemecahannya. Gereja-gereja mudapun mestinya jujur mengemukakan soal-soalnya terhadap partnernya dan jangan mendiamkannya dengan alasan, tidak pantas mencampuri urusan intern gereja-gereja lain. Sebab partnership membawa semua pihak kepada persekutuan yang terbuka dibawah wibawa Firman Allah yang satu, Yesus Kristus.

7. Untuk mengadakan kirim-mengirim utusan gerejani buat bekerja selama beberapa tahun, maka sangat perlu bagi gereja-gereja di Barat untuk meneliti dengan cermat kesediaan jemaat-jemaat yang mau menerima pekerja oikumenis dari gereja muda itu. Artinya, jemaat-jemaat tersebut mestilah dipersiapkan sebaik-baiknya, berhubung mengatasi prasangka-prasangka teologis, kulturil dan ras itu bukanlah urusan yang gampang dipecahkan. Pelayanan oikumenis dari pekerja kita itu bukan cuma terdiri dari hal membantu gereja-gereja Barat agar supaya mereka lebih memahami masalah-masalah negara-negara berkembang serta menyadarkan gereja-gereja Barat akan pentingnya bantuan perkembangan betapapun legitimnya dan perlunya tuntutan-tuntutan tersebut. Pelayanan yang dimaksud dalam kaitan ini terutama : membantu mengendorkan macam-macam prasangka, senantiasa mempersoalkan dan membangkitkan kesadaran tentang keadilan dan harkat manusia serta mengartikulasikan ikatan persekutuan bersama dengan Kristus dengan pelbagai cara. Dan tempat pelayanan tersebut bisa saja: jemaat, wisma bina warga, kependetaan halftime, tugas-tugas koordinatif.

REFLEKSI SEKITAR SITUASI INTEGRASI
SUKUBANGSA DI KALIMANTAN BARAT

oleh

Yahya Wiriadinata

Tulisan ini bertujuan mengajak pembaca menggumuli bersama masalah-masalah yang timbul sekitar kehidupan integrasi di kalangan masyarakat non pribumi di Kalimantan Barat pada umumnya dan di sepanjang daerah pesisir terutama di kota-kota pantai di kawasan tersebut pada khususnya. Ada banyak pendekatan untuk memahami masalah-masalah tersebut. Tetapi dalam tulisan ini kita membatasi diri menggunakan pendekatan sosial-kulturil, yang uraiannya menitik-berat pada tiga pokok diskusi, yaitu (1) integrasi, asimilasi dan inti persoalannya, (2) situasi integrasi sukubangsa di Kalimantan Barat, dan (3) Perspektip pembinaan integrasi bangsa dan kesatuan bangsa.

(1). Integrasi, asimilasi dan inti persoalannya

Masalah integrasi dan asimilasi sesungguhnya merupakan satu masalah serius dan urgen yang dihadapi banyak negara di muka-bumi ini, baik negara-negara maju maupun negara-negara sedang berkembang. Phenomena integrasi dan asimilasi antar sukubangsa yang bermukim dalam suatu lingkungan hidup tertentu pada proses perkembangannya tertentu jelas dapat mengakibatkan perubahan bentuk sosial, yang bisa jadi konstruktip, harmonis tetapi juga bisa menjadi desktruktip, resah. Dikatakan konstruktip dan harmonis bila halnya memungkinkan pembentukan kesatuan sosial yang homogen. Sedangkan dikatakan destruktip dan resah karena hanya mengantar sukubangsa yang berdasarkan masyarakat majemuk itu kepada perpecahan dan ketegangan sosial. Hal terakhir itu dapat kita lihat misalnya di Bangladesh, Mindanao, Irlandia dan lainlain negara.

Secara umum pengalaman integrasi dan asimilasi antar sukubangsa Indonesia, yang terdiri atas kurang lebih 300 sukubangsa tersebar di seluruh pelosok tanah air, dapat dikatakan masih kurang mendalam. Sekalipun Bhineka Tunggal Ika sudah sejak lama menjadi suatu fakta yang tidak dapat disangkal. Pemikiran-pemikiran seperti "Indonesia Raya", Gerakan Nasionalisme" bahkan "Pancasila" baru muncul dalam fase limapuluh tahun pertama abad keduapuluh ini. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau kita belum sempat untuk memikirkan serta menghayati kehidupan integrasi dan asimilasi secara matang. Pada saat itu konsep nation agaknya lebih menonjol daripada konsep kebangsaan, Bhineka lebih nampak daripada Tunggal Ika-nya.

Bila ditinjau dari segi perubahan serta perkembangan sejarah Indonesia (1602-1949) secara keseluruhannya maka dapat dicatat sekurangkurangnya ada empat faktor utama yang mempengaruhi perkembangan proses integrasi dan asimilasi antar sukubangsa Indonesia (asli) dengan sukubangsa keturunan asing. (1) Adanya politik pemisahan, pengkotakan serta penggolahan terhadap pelbagai sukubangsa, yang dilancarkan oleh pihak pemerintah kolonialis Belanda, (2) adanya gerakan kebangsaan yang bercirikan nasionalistik menjelang masa berakhirnya penjajahan asing Belanda - Inggris - Jepang guna mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yang secara sadar atau tidak menyisihkan atau menolak posisi dan peranan sukubangsa keturunan asing (Arab, Cina dan sebagainya) dalam perjuangan bangsa tersebut, (3) adanya kekuatan-kekuatan asing yang berusaha mempengaruhi atau merangkul kelompok-kelompok sukubangsa keturunan asing itu tadi, karena terjepit, menyatukan mereka dalam suatu kesatuan sosial yang eksklusip dengan maksud dan tujuan politis tertentu, dan (4) adanya pemahaman dan penghayatan kesatuan bangsa, dalam arti identias bangsa, yang kuat diwarnai ciri-ciri kesukuan, adat istiadat dan bahasa daerah.

Akibat dari adanya empat faktor utama tersebut menyebabkan masalah hubungan pribumi-non pribumi, dalam arti integrasi warganegara Indonesia keturunan asing menjadi rumit dan peka. Kelompok sukubangsa keturunan asing itu merasa dipojokkan, sehingga sulit menempatkan diri secara wajar dalam masyarakat berdasarkan Bhineka Tunggal Ika itu. Di sinilah kita harus pikirkan secara serius: apakah sebenarnya yang menjadi in ti persoalannya? Secara umum dapat kita ungkapkan ada dua macam pendapat masyarakat terhadap pemikiran integrasi bangsa, yaitu pertama, integrasi secara amalgamasi, yang lazimnya dikenal sebagai asimilasi, dengan tujuan untuk meleburkan secara total warganegara keturunan asing ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Kedua, integrasi secara kulturil, yang menitik berat pada penghapusan ciri-ciri kebudayaan asing yang diwar si dari negeri leluhurnya. Sehingga sikap hidup dan corak berpikir mereka benar-benar bersifat Indonesia.

Integrasi dan asimilasi seperti ini mengandung risiko yang justru bisa jadi sebaliknya memperhambat ke arah yang dikehendaki itu, bila tidak disertai pertimbangan psikologis. Integrasi secara amalgamasi akan berhasil kalau dilakukan tanpa paksaan tetapi atas kemauan pribadi,

Masalah integrasi sukubangsa, dalam kaitannya dengan tulisan ini, sebenarnya lebih menyangkut dengan integrasi secara kulturil. Dalam hal ini perlu kita pahami adanya perbedaan pendapat umum tentang integrasi secara kulturil. Disatu pihak agaknya sub-kebudayaan yang tadinya diwarisi warganegara keturunan asing itu dapat ditolerir, menjadi bahagian daripada kebudayaan nasional. Namun dipihak lain dalam kenyataan "sub-kebudayaan" itu agaknya berat diterima dalam kebudayaan Bhineka-Tunggal-Ika, yang d'anggap masih berbau asing, tidak cocok dengan kebudayaan bangsa. Dalam situasi kulturil inilah kita berhadapan dengan suatu dilema integrasi bangsa. Posisi dan peranan warganegara keturunan asing dalam kehidupan masyarakat Bhineka Tunggal Ika, yang sejajar dengan suku-bangsa Indonesia lainnya, perlu dipertegas, bila integrasi dan kesatuan bangsa hendak dibina dan dibimbing.

Inti persoalan integrasi bangsa kini semakin jelas, yaitu dapatkah integrasi dan kesatuan bangsa berdasarkan landasan kuat yang kita tegakkan, yaitu masyarakat Bhineka Tunggal Ika? Kebangsaan harus lebih ditonjolkan daripada nation, "Tunggal Ika" harus lebih diutamakan daripada "Bhineka"-nya. Dan warganegara keturunan asing haruslah menunjukkan sikap mental, hasrat berintegrasi dan kesungguhan untuk mencintai bangsa dan negara Indonesia

(2) Situasi integrasi sukubangsa di Kalimantan Barat

Dengan pemahaman persoalan integrasi seperti diuraikan diatas, kita mencoba memahami situasi integrasi sukubangsa di Kalimantan Barat khususnya ditinjau dari masyarakat Cina, yang secara khas memainkan peranan penting di wilayah tersebut. Sebelum kita sampai bagian tulisan ini perlu kita melihat sepintas lalu komposisi kelompok sukubangsa yang di wilayah itu.

1. Penduduk pribumi setempat, yang lazimnya disebut oleh orang luar sebagai suku Dayak, merupakan penduduk mayoritas. Menurut Statistik Sensus Penduduk tahun 1971 jumlah penduduk 2.019.936 jiwa, diantaranya 41% suku Dayak, suku Melayu 39%, sukubangsa Cina 12%.

Sekalipun merupakan golongan terbesar namun dalam kenyataannya, masyarakat Dayak yang semula berpola hidup mengembara (sistim ladang) itu tidak dapat mengembangkan suatu masyarakat yang stabil secara ekonomis. Kedatangan suku-suku pendatang lain misalnya suku Melayu, suku Cina dan seterusnya mendesak mereka bermukim di daerah pedalaman yang acapkali menutup diri terhadap dunia luar. Sehingga sekarang ini kehidupan mereka di segala bidang kehidupan nampaknya masih terbelakang. Pada masa lampau ketegangan-ketegangan antar sukubangsa yang mempunyai kepentingan-kepentingan berbeda-beda, terutama antar suku Dayak dan suku-suku pendatang lain, pernah menimbulkan bentrokan hebat. Peristiwa kerusuhan tahun 1967, misalnya merupakan salah satu aksi yang mencerminkan frustrasi terhadap posisi hidup mereka yang semakin menekan. Golongan tersebut sampai dewasa ini harus menghadapi keterbelakangan,

« ÎnapoiContinuă »