Imagini ale paginilor
PDF
ePub

Berbicara secara umum, wanita yang bercerai atau kematian suaminya pun dapat digolongkan pada kategori "wanita single". Belum lama berselang, di Indonesia pun masih terdapat kebiasaan membakar hiduphidup para janda, bersama jenazah suaminya. Dan hingga kini, menurut adat beberapa suku tertentu, seorang janda masih bisa "diwarisi" oleh saudara suaminya hanya pengistilahannya lain. Membaca Perjanjian Lama, kita akan melihat bahwa para janda termasuk golongan yang lazim ditindas; bersama-sama dengan anak yatim dan orang asing, janda dianggap tidak ada haknya.

Barangkali dewasa ini terlalu ekstrim untuk berbicara tentang penindasan. Bagaimanapun juga, wanita yang single, terlebih di Asia, biasanya tertekan hidupnya. Mungkn sikap masyarakat dapat dihubungkan dengan idé keseimbangan kosmis (yang dibawah sadar masih besar pengaruhnya atas kita), yang terancam oleh adanya wanita tanpa pasangan itu sebagai faktor pengganggu. Mungkin pula sikap masyarakat tersebut berakar pada apa yang dinamakan mentalitas perkosaan oleh Mary Daly :

"Gatra kedua dari Tritunggal Terbejad (= Perkosaan, Genoside dan Peperangan) adalah genoside, penumpasan satu bangsa. Sesungguhnya tidaklah sukar untuk melihat suatu hubungan yang dalam antara mentalitas perkosaan dan genoside. Adalah pemasyarakatan dari kekejaman seksuil kejantanan, yang merupakan landasan untuk melatih angkatan bersenjata yang terlebih kejam. Janganlah kita menyangka bahwa perkosaan hanya berupa tindakan beberapa pria tertentu yang telah memperkosa wanita. Cara berpikir semacam ini melupakan beribu-ribu pria, yang secara tak langsung menikmati tindakan perkosaan itu melalui bacaan-bacaan pornografi atau beritaberita surat khabar. Dilupakan pula bahwa semua pria bertambah besar kuasanya oleh karena adanya perkosaan; karena ini berarti wanita perlu dilindungi. Perkosaan adalah suatu cara hidup" 8).

Mary Daly menandaskan seterusnya bahwa kelanjutan logis dari mentalitas perkosaan adalah obyektifikasi semua orang yang dapat dijadikan korban kekejaman. Wanita yang berdiri sendiri niscaya yang pertama-tama bisa menghayati hal ini.

Dalam hubungan ini, dapat dimengerti mengapa wanita single yang berhasil mencapai sesuatu kedudukan dalam masyarakat, dilihat sebagai ancaman terhadap sejawat-sejawatnya pria, dan terhadap wanita-wanita yang menikah. Wanita semacam ini telah menerobos batas-batas yang diciptakan masyarakat patriarkhal, sedangkan masyarakat patriarkhal ini sendiri merupakan suatu hasil dari usaha manusia untuk menjamin keamanan. Selama kejahatan yang dilembagakan dari masyarakat patriarkhal ini (yang jahat sifatnya, justru karena asumsi dasarnya ialah bahwa wanita lebih rendah derajatnya dari pria) diterima sebagai nilai-ni

8) Mary Daly, Beyond God the Father, Beacon Press, Boston 1973 pp. 114

[blocks in formation]

lai yang sah dan baik, wanita single yang berhasil, dipandang sebagai suatu ancaman terhadap masyarakat ini, serta terhadap mereka yang mengandalkan dan mendukung struktur kemasyarakatan patriarkhal.

Lelucon dan karikatur sering merupakan suatu saluran bagi kebencian yang terpendam. Dalam negara-negara yang totaliter, selalu ada panen subur lelucon-lelucon dibawah tanah menentang rejim yang berkuasa. Pada fihak lain, lelucon bukan saja mencerminkan kebencian yang ditandas terhadap yang menindas. Sering lelucon itu mencerminkan sikap benci serta merendahkan dari yang menindas terhadap yang tertindas. Di Amerika Serikat banyak sekali lelucon mengenai orang Negro, misalnya. Dalam hubungan ini, hendaknya kita perhatikan betapa seringnya seorang wanita single dicemoohkan dalam lelucon kalau ia tidak digambarkan sebagai seorang pembenci pria, lagi-lagi ia ditonjolkan sebagai seorang penerkam pria, atau gila sex.

Tadi sudah dikemukakan bahwa sikap-sikap manusia lebih sukar dirubah dari perundang-undangan. Di seluruh dunia, wanita dan pria menjadi semakin sadar bahwa pembebasan wanita tak lain dari pembebasan manusia seutuhnya; karena memperjuangkan semua manusia untuk menjadi peserta-peserta penuh dalam masyarakat manusia.

Adalah kewajiban wanita dan pria bersama-sama untuk memikirkan kembali pengalaman penindasan yang telah dan masih terjadi, serta bertindak serentak untuk mewujudkan suatu masyarakat yang lebih berperikemanusiaan - suatu masyarakat di mana wanita dan pria akan saling berjumpa dalam suka cita, pengharapan dan kasih, sebagaimana ditakdirkan Allah.

BEBERAPA CATATAN LEPAS TENTANG PERTUKARAN UTUSAN GEREJANI SEBAGAI PEWUJUDAN KERJASAMA OIKUMENIS

DEWASA INI

oleh

Odeh Suardi

1. Konperensi Sedunia di Mexico City 1963 tentang Pekabaran Injil telah menempa suatu istilah yang cukup luas dan dinamis cakupan pengertiannya: "Pekabaran Injil di Enam Benua". Gereja-gereja telah bersama-sama menemukan pentingnya dunia ini dipahami sebagai satu wilayah bersama pemashuran Injil. Kesadaran ini telah mendorong lahirnya bentuk-bentuk kemungkinan baru dalam mewujudkan hubunganhubungan dan kerjasama oikumenis antar gereja, tetapi serentak pula telah menimbulkan pertimbangan-pertimbangan yang kritis terhadap praktek "lalulintas searah" yang sampai saat ini sebenarnya masih dijalankan gereja-gereja dipelbagai bagian dunia, padahal semakin jelas sekarang, bahwa pekabaran Injil tidak lagi merupakan "urusan" ataupun "pelayanan" yang dimonopoli gereja-gereja Barat, melainkan telah menjadi keprihatinan bersama semua gereja di manapun juga. Istilah baru di atas tadi juga mau menonjolkan betapa besarnya arti dan tanggungjawab misioner gereja setempat/jemaat, di mana ia dipahami sebagai bahagian konkrit dari Gereja Yesus Kristus di segala tempat dan di segala waktu. Itu sebabnya logislah, bahwa dimasa-masa mendatang mesti lebih banyak lagi utusan-utusan gerejani dari gereja-gereja muda, artinya, dari negara-negara berkembang, datang kelingkungan gereja-gereja yang selama ini terkenal sebagai semata-mata gereja-gereja yang mensuplai misionaris-misionaris; tugas mereka misalnya untuk turut bersama-sama bekerja dalam proses pembinaan kesadaran baru bergereja dan hidup bersama, dalam proses pembinaan dan pendidikan orang-orang dewasa. Sebaiknya pertukaran atau kerjasama ini diperluas lagi dengan mengikut-sertakan golongan yang biasa kita sebut golongan awam, artinya kerjasama itu jangan hanya terbatas di antara kaum teolog atau pendeta saja, sebab kehidupan dan kesaksian gereja dan pelayanan misionernya tidak cuma terletak di tangan kaum pendeta.

2. Berkat teknologi modern maka dunia kita dewasa ini telah menjadi begitu sempit dan kecil, sehingga masadepan itu hanya dapat kita bayangkan sebagai jalur-bersama sejarah umat manusia. Baik sebagai bangsa-bangsa, apalagi sebagai umat Kristen, kita semua menyadari benar saling ketergantungan kita dalam hidup kita kita semua saling terikat, tidak sebagai butir-butir pasir yang berlepasan. Pertukaran utusan gerejani adalah juga suatu pengakuan terhadap jalur-bersama sejarah yang satu ini. Sekarang ini kredibilitas pekabaran Injil yang dijalankan di "Dunia Ketiga" oleh saudara-saudara dari Barat, tidaklah bisa dipikirkan, dilihat dan dipahami, lepas dari tekun-tidaknya usaha-usaha gereja-gereja Barat sendiri memanusiakan masyarakatnya sendiri, misalnya saja dalam hubungannya dengan masalah-masalah pekerja-pekerja kasar bangsa asing yang secara manusiawi kurang mendapat penghargaan yang layak dari pribumi di sana -, atau misalnya mengenai konsekwensi-konsekwensi sosial-politis investasi ekonomi orang-orang swasta bangsanya yang ditanamkan di negara berkembang yang menganut sistim pemerintahan diktatur, apakah artinya investasi demikian bagi bangsa dan negaranya sendiri, apakah gerejanya akan tinggal diam saja? Paham atheisme yang biasa dimuntahkan dalam pelbagai hujatan terhadap nama Allah dan terhadap mereka yang percaya kepada Namanya, bukanlah itu benar yang dewasa ini merupakan bahaya besar yang mengancam terutama dunia Barat, tapi juga mulai mengancam bangsa-bangsa di negara berkembang, melainkan kenyataan dicanangkannya tuntutan mutlak oleh teknologi dan ekonomi, yakni menganggap diri sebagai satu-satunya (yang pertama dan terakhir) instansi yang berwewenang penuh memperlakukan kebenaran apa dan macam mana, keadilan apa dan macam mana dalam masyarakat sekarang dan masadepan. Dan berkat kerjasama oikumenis, maka gereja-gereja di negara-negara maju itu telah mulai melihat dalam situasi demikian ini kesempatan misioner yang besar, karena, bukan cuma di negeri-negeri jauh "Dunia Ketiga”, melainkan justru di negara-negara Barat yang sudah maju industrinya itulah maka Injil itu semestinya mampu menciptakan tatahidup baru dalam masarakat, semestinya mampu memberi pembebasan dan kebahagiaan terhadap manusia serta pendamaian. Dari hidup dan kesaksian gereja-gereja miskin di luar dunia Barat maka gereja-gereja kaya di Barat dapat belajar mengeja kembali iman kepercayaannya dengan segala kerendahan hati. Pengalaman selama tiga tahun bekerja sebagai pekerja gerejani yang diutus gerejagereja Indonesia ke gereja-gereja Swis memperkuat harapan saya terhadap generasi muda di Barat. Dari diskusi-diskusi pada pertemuan-pertemuan dan konperensi-konperensi, baik gerejani maupun sekuler, ternyata daya kritik kaum muda ini kuat terhadap sistem kemasyarakatan negara mereka sendiri, mereka tidak puas dengan kekayaan hidup mereka yang katanya cuma mengapung di permukaan saja, padahal akarakarnya adalah sistem ketidak-adilan yang mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari negara-negara sedang berkembang sehingga pada akhirnya biasanya mereka bertanya: bisakah dibenarkan bantuan perkembangan yang diberikan oleh negara-negara industri yang sudah berada pada "batas-batas pertumbuhannya"? Bukankah nanti di negaranegara berkembang, mau tak mau, akan dibangkitkan pertumbuhan seperti

halnya di negara-negara industri sekarang, yang bukan memberi kesejahteraan hidup pada manusia malahan membebani manusia dengan berbagai soal baru? Bukankah dengan teknologi Eropah peradaban dan budaya yang tinggi di Asia akan runtuh, dan manusia menjadi nomor saja dalam proses produksi? Mampukah Asia dan Afrika menerima dan mengunyah ilmu-ilmu dan teknik Barat? Dan mengapa pula agama Kristen dari Eropa ini mesti disebarluaskan pada rakyat yang begitu harmonis hubungannya dengan alam, yang etiknya jauh lebih tinggi dari tingkahlaku Kristen Barat sendiri? Bukankah sebaiknya agama-agama lain itu dibiarkan hidup? Bukankah sebaiknya kita orang-orang muda di Barat harus belajar dari agama-agama Hindu, Budha dan Islam sekarang ini? Dari pertanyaan-pertanyaan demikian, betapapun kritisnya terhadap situasi masyarakat mereka sendiri, terbayang masih betapa dunia seluruhnya ini tetap juga hanya dilihat dengan kacamata Barat saja, Baratlah yang jadi ukuran keadilan, Baratlah yang jadi ukuran segala segi kehidupan. Dan alangkah perlu dan pentingnya langkah-langkah yang tengah dirintis gereja-gereja dalam gerakan oikumene sekarang ini di bidang yang sungguh baru, yakni pertukaran utusan gerejani. Yang menonjol barunya dalam hal ini adalah seginya yang satu, yakni bekerjanya utusan-utusan gerejani dari gereja-gereja yang miskin dilingkungan gereja-gereja yang kaya di negara-negara yang kaya pula. Sesungguhnyalah pekerjaan ini adalah perintisan: merintis kearah terciptanya mentalitas baru dan kesadaran baru bersejarah di dunia yang serba majemuk ini. Suatu proses membuka hutan, menebang dan merabut akar-akar prasangka dan wasangka dari pohon arrogansi bangsa kulitputih yang memang selama beratus-ratus tahun telah mesinggasanai sejarah dunia ini. Ada banyak orang-orang di Barat yang menyadari hal ini dan secara kelakar mereka bilang Ujung-ujung dunia, kemana Injil harus disiarkan, tidak lagi terletak di Asia atau Afrika, tetapi ujung-ujung dunia itu berada di kotakota kita di benua Eropah dan Amerika !

3. Pertukaran utusan gerejani mengungkapkan aspek lain pula dalam kehidupan kita bergereja: yakni kedewasaan gereja. Menggumuli kedewasaan atau keberdikarian gereja pada waktu sekarang ini bukan lagi cuma masalah bagi gereja-gereja penerima di negara-negara berkembang belaka. Dilihat dari gambaran Alkitab tentang gereja sebagai Tubuh Kristus (I Kor. 12, 12-27), dari mana terpancar ikatan persekutuan, saling tolong-menolong dan bantu-membantu selaku sesama anggota-anggota Tubuh yang satu, maka nyatalah bahwa juga hal itu merupakan tugas gereja-gereja pengutus di Barat, yakni menyadari kembali bagaimana sebenarnya hubungannya dengan gereja-gereja lain itu. Sebab masih keberdikarian atau kedewasaan gereja bukan semata-mata materiilfinansiil sifatnya, melainkan terutama sekali merupakan masalah rohani: dipertanyakan di sini wujud/hakekat gereja serta tanggungjawab misionernya, dipertanyakan di sini identitas bersama sebagai umat Allah dalam situasi dewasa ini.

4. Suatu gereja yang berdiri sendiri tidaklah berdiri sendirian. Ia memberi kesaksian tentang keesaan gereja dalam hal ia mengadakan hubungan partner dengan gereja lainnya. Hal ini tidak usah selalu kita artikan se

« ÎnapoiContinuă »