Imagini ale paginilor
PDF
ePub

Apakah Gereja-gereja di Indonesia telah siap-siap untuk menghadapi perkembangan ini dengan segala gejala-sampingan dan akibatnya dengan cara yang bertanggung-jawab? Karangan ini bukanlah tempat untuk menyelidiki satu per satu soal-soal yang disebut oleh Simatupang dan yang mungkin masih dapat ditambah dengan soal-soal lain. Tidaklah perlu diterangkan bahwa Gereja-gereja di Indonesia harus mengumpulkan kekuatan-kekuatannya yang lemah itu untuk dapat tetap menghadapi tantangan-tantangan dari tahun-tahun dan dasawarsa-dasawarsa yang akan datang. Tambah lagi bahwa mereka juga menghadapi suatu mayoritas keagamaan yang makin sadar akan dirinya sendiri, yang dari padanya tidak selalu disampaikan nada-nada yang manis ke alamat orang-orang Kristen. Walaupun benar bahwa pertemuan-pertemuan dengan orang Muslimin umpamanya dalam dialog dan kerjasama bertambah banyak dan sangat bermanfaat untuk mereka yang punya motivasi yang jujur, namun pertemuan-pertemuan ini juga menimbulkan jiwa dan kuasa-kuasa perlawanan yang tidak boleh diremehkan, apa lagi karena dengan hasutan antikristen mereka sering menyembunyikan kepahitan mereka tentang perkembangan masyarakat modern yang dewasa dan ketidak-mampuan mereka untuk menghadapi secara intelektuil dan kreatip tantangan-tantangan zaman ini. Dalam keadaan ini sudah barang tentu bahwa sikap membela diri (apologetis) dan memupuki rasa curiga tidak bermanfaat apapun, melainkan yang diperlukan ialah suatu sikap yang terbuka, jujur dan kooperatip. Kalau demikian halnya maka cukup menggemparkan untuk melihat bahwa elite intelek dari golongan Protestan terancam untuk tinggal kebelakangan kalau dibandingkan dengan pengembangan elite intelik dari golongan-golongan lainnya. Karena itu tepat sekali jika Simatupang dalam karangan tersebut, tetapi juga pada kesempatan-kesempatan yang lain, menunjuk kepada pentingnya suatu pembaharuan sistim pendidikan yang mendesak, termasuk dan khususnya juga sistim pendidikan Kristen, untuk mempersiapkan angkatan muda dengan cara yang bertanggung-jawab untuk masa depan. Bukan saja mereka yang muda harus merasa bertanggung-jawab, melainkan teristimewa mereka yang tua.

Waktu 25 tahun yang lalu, ketika ke-28 gereja mulai berjalan bersama di bawah lambang DGI, mereka kurang menyadari akan keruwetan pelbagai soal yang mereka mau menyelesaikan. Bahwa mereka sedia untuk belajar yang satu dari yang lain dan bersama belajar dari Gerejagereja anggota yang baru, adalah salah satu pasal yang paling positif daJam neraca DGI. Apakah Gereja-gereja anggota yang sekarang berjumlah 44 gereja, akan dapat mempertahankan keterbukaan ini yang satu. untuk yang lain, dan untuk dunia sekitar, juga dalam 25 tahun yang akan datang, untuk dengan kesaksian bersama dan pelayanan bersama, merupakan suatu tanda yang kuat untuk Tuhan yang Esa yang mereka mengakui bersama? Tentulah dengan "kuat" di sini tidak dimaksudkan sesuatu yang memperingatkan akan semboyan "Einigkeit macht stark" kira-kira (kesatuan menjadikan kuat). Jumlah kecil mereka saja 6% orang Protestan di tengah-tengah penduduk Indonesia sudah melarang mereka untuk menyerah kepada pencobaan ke arah pikiran yang semacam itu. Yang lebih penting ialah kekuatan dari ke benar

an kesaksian dan pelayanan Kristen yang tiap kali lagi dipersoalkan karena ketegangan-ketegangan dan pertentangan-pertentangan didalam Gereja dan antara Gereja-gereja. Tetapi dalam hal ini kebenaran Injil, bahwa kuasa Allah menunjukkan diri secara kuat

[ocr errors]

kuat dengan

caraNya sendiri justru di dalam yang lemah, kebenaran ini tiap kali lagi dialami dan dipercaya juga oleh Gereja-gereja di Indonesia dan anggota-anggotanya secara eksistensiil. Padahal orang Kristen Indonesia dan dengan mereka pula DGI, juga mengetahui bahwa kesadaran akan kelemahan tidaklah sama dengan kemalasan. Tetapi untuk malas mereka tidak mempunyai waktu dan juga tidak akan mempunyai waktu dalam 25 tahun yang akan datang, di negara mereka yang persoalan-persoalannya berlimpah-limpahan.

ONO NIHA : PENDUDUK PULAU NIAS

Oleh

James Dananjaya

I. Penduduk

Ono Niha mendiami pulau Nias, yang merupakan pulau terbesar dari deretan pulau-pulau kecil, yang terletak di sebelah barat pulau Sumatra. Mereka ini adalah penduduk pribumi dari pulau Nias 1). Oleh orang luar mereka dikenal sebagai orang Nias, dan pulau yang mereka diami sebagai pulau Nias; tetapi bagi mereka sendiri pulau Nias adalah Tanö Niha (Tanah Manusia), sedangkan orang Nias adalah Ono Niha (Anak Manusia).

Ono Niha kurang sekali terpengaruh oleh kebudayaan Hindu maupun Islam. Berlandaskan kepada suatu kebudayaan megalitik, yang rupa-rupanya telah mereka bawa dari benua Asia pada jaman perunggu 2), mereka telah mengembangkan suatu kebudayaan yang mempunyai suatu kepribadian sendiri dengan suatu seni bangunan yang indah dari kayu maupun batu-batu besar. Berlainan dengan Megalitik daerah Indonesia lainnya yang dicirii oleh adat pengorbanan kerbau, maka di Nias dicirii oleh pengorbanan babi. Lama sebelum orang Belanda untuk pertamakalinya mengunjungi Nias dalam tahun 1669 3), orang Nias telah banyak berdagang dengan orang-orang Aceh, Melayu dan Bugis 4) yang datang ke sana, tetapi berbeda dengan penduduk pulau Simauluë, yang terletak disebelah utara pulau Nias, mereka tidak terpengaruh secara luas oleh agama Islam. Agama Kristen Protestan datang mempengaruhi penduduk sejak tahun 1865 terutama mulai dari Gunung Sitoli 5), sedangkan agama Katolik datangnya lebih kemudian dari bagian Selatan, yaitu terutama sejak tahun-tahun setelah Perang Dunia II. Dalam tahun 1914 jumlah penduduk Nias adalah 135.000 jiwa 6), sedangkan angka terakhir ialah dari tahun 1967, peduduk sudah berkembang hampir dua setengah kali lipat ialah di sekitar 350.000 jiwa 7). Meskipun belum dapat ditentukan dengan pasti asalnya, tetapi jika kita teliti ciri kebutuhannya, maka kita mengambil kesimpulan sementara bahwa orang Nias (Ono Niha) adalah dari Tiongkok selatan atau paling sedikit dari Vietnam, karena warna kulit serta bentuk mata dengan lipatan mongolnya (epicanthic fold) sukar dibedakan dengan orang Cina Totok. Seperti halnya dengan orang Dayak, orang Nias juga percaya bahwa leluhur mereka berasal dari langit (baca halaman 106-108 di belakang).

Bahasa Nias bersama-sama dengan bahasa Nusantara lainnya termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia (Austronesia). Suatu ciri khas yang paling menonjol, sehingga agak berbeda dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya adalah sifat yang vokalis, karena tidak mengenal konsonan di tengah maupun akhir kata. Selain itu bahasa Nias juga mempunyai huruf bunyi tunggal (vokal) yang tidak dipunyai oleh bahasa-bahasa Nusantara lainnya pada umumnya, yaitu ö. Huruf ö Nias ini berbunyi hampir sama dengan e pêpêt, hanya saja lebih tegas menyebutkannya terutama pada awal kata. Pada tengah kata boleh dikatakan hampir tidak ada bedanya dengan pêpêt. Cara pengucapan ö ini harus dilakukan pada belakang mulut. Bahasa Nias mempunyai dua logat yaitu logat Nias Utara dan logat Nias Selatan - Téllo. Yang dinamakan logat Nias Utara adalah bahasa-bahasa yang dipergunakan di Nias bagian Utara, Barat dan Timur, dan yang disebut logat Nias Selatan Téllo adalah bahasa yang dipergunakan di Nias bagian Tengah, Selatan dan pulau Téllo dari kepulauan Batu. Logat Nias Utara sering juga disebut dengan nama Laraga 8). Perbedaan kedua bahasa tersebut hanya berdasarkan keragaman dalam warna saja. Logat Nias Utara dapat dimengerti oleh orang Selatan dan demikian juga sebaliknya.

Berdasarkan topografi Nias dapat kita bagi menjadi lima bagian, yaitu Nias bagian Utara, Barat, Timur, Tengah dan Selatan. Dalam karangan ini Nias akan kami bagi menjadi lima daerah berdasarkan topografi tersebut 9).

II. Pola Perkampungan

Ono Niha mendiami suatu pulau yang luasnya adalah 4000 km2. Selain berdiam di pulau tersebut ada juga sebagian yang mendiami pulau-pulau kecil yang bertebaran di sekitarnya, yang secara administrasi bersama-sama dengan pulau Nias termasuk dalam kabupaten Nias. Luas seluruh kabupaten Nias adalah 5030 km2 10). Pulau orang Nias ini dikitari oleh lautan yang bergelombang ganas terutama di sebelah pantai baratnya. Tanö Niha ini adalah satu pulau yang berbukit-bukit terutama di sebelah timurnya, dan di bagian Tengah dan Selatan terdiri dari daerah pegunungan. Puncak yang tertinggi dari pegunungan yang ada di sana adalah Hili Lölömatua (886 m) 11). Disana juga terdapat banyak sungai-sungai besar dan kecil. Sungai-sungai besar umpamanya S. Oyo, S. Susua dan S. Muzoi. Tetapi karena sungai-sungai itu pada umumnya dangkal-dangkal maka tidak penting bagi perhubungan lalu lintas. Di bagian pedalaman yaitu daerah berbukit-bukit dan pegunungan terdapat hutan sekunder yang tidak begitu lebat. Di dalam hutan ini tidak ada binatang buas yang berbahaya kecuali ular berbisa. Keadaan semua ini seharusnya membuat daerah itu mudah dijelajahi manusia. Tetapi kenyataannya tidak demikian, berhubung karena daerah itu beriklim lembab dan hujan boleh dikatakan hampir turun sepanjang tahun, sehingga menyebabkan jalan setapak di situ berlumpur serta licin bukan main. Jalan-jalan setapak demikian itu yang di pedalaman Nias merupakan satu-satunya jalan sukar sekali dijelajahi terutama oleh manusia-manusia dari kota. Kesulit

an bertambah lagi karena jalan-jalan serta jembatan-jembatan yang pernah dibangun pada jaman Kolonial pada dewasa ini sudah ditelan alam lagi dan baru sebagian kecil saja yang sudah direhabilitir kembali.

Dalam alam demikian inilah Ono Niha mendirikan banua-banua (desa-desa) mereka. Banua-banua orang Nias di pedalaman didirikan di puncak suatu bukit atau gunung atau jika di lembah di tengah-tengah beberapa lapisan bukit atau gunung yang sukar dihampiri orang luar. Kebiasaan ini adalah berasal dari jaman dahulu pada waktu Ono Niha masih gemar berperang, sehingga demi pertahanan desa-desa mereka didirikan di tempat yang sudah dipertahankan. Pada masa ini memang sudah ada kecenderungan dari orang-orang Nias untuk mendirikan desadesa baru di daratan rendah dan daerah dekat pesisir, sehingga di daerah kecamatan Gomo (Nias bagian Tengah) misalnya sudah ada desa-desa yang mati karena ditinggalkan penduduknya.

Suatu banua di pedalaman pada umumnya terdiri dari dua puluh sampai dua ratus rumah-rumah. Satu desa dapat terdiri dari satu gana/ mado (klan kecil) 12) saja, atau tiga sampai empat gana/mado. Tiap rumah biasanya didiami oleh keluarga luas virilokal 13) (virilocal extended family), yaitu keluarga luas yang berdasarkan adat virilokal (patrilokal) dan yang terdiri dari suatu keluarga batih senior dengan keluarga-keluarga batih dari putra-putranya. Istilah keluarga batih (nuclear family) di Nias adalah sangambatö. Denah desa di Tanö Niha pada umumnya telah disusun menurut pola tertentu. Di Nias bagian Tengah dan Nias bagian Selatan bentuk denah desa adalah seperti huruf U, yaitu rumah Tuhenöri yaitu kepala öri (kepala negeri) atau Salawa (kepala banua), sebagai pusat di ujung, menghadapi suatu lapangan yang berlandaskan lempengan-lempengan batu kali pipih dan di kedua sisi muka rumahnya tersebut berjejeran rumah-rumah anak buahnya. Di Nias bagian Utara, Timur dan Barat bentuk denah desa adalah seperti

=

yaitu rumah-rumah berjejeran berdiri di kedua sisi jalan, dan rumah Tuhenöri atau Salawa berada di antara salah satu deretan rumah-rumah anak buahnya. Rumah kepala öri atau banua biasanya lebih bagus dan besar. Di Nias bagian Selatan dan Tengah rumah-rumah kepala-kepala tersebut biasanya berbentuk rumah tradisionil yang imposant itu. Pada masa dahulu di antara suatu desa dengan desa yang bersahabatan dihubungi dengan jalan setapak yang berlandaskan lempengan-lempengan batu kali, yang terawat serta rapih sekali. Jalan-jalan setapak pada masa ini pada umumnya sudah tidak terawat lagi sehingga tidak baik untuk dipergunakan terutama pada musim hujan. Di muka rumah kediaman Tuhenöri atau Salawa pada umumnya terdapat bangunan-bangunan dari batu besar peninggalan jaman pra-Kristen, yaitu kebudayaan Megalitik, antara lain seperti yang disebut saita gari (Nias bagian Selatan), béhu (Nias bagian Tengah) atau gowé zalawa (Nias bagian Barat dan Timur) yaitu tugu dari batu (menhir) yang dipahat berbentuk seorang laki-laki yang mempunyai alat kelamin yang sangat besar. Selain itu juga tempat-tempat duduk yang terbuat dari batu (stone seat) yang di Nias bagian Selatan disebut daro-daro dan di Nias bagian Utara, Barat, Timur dan Tengah disebut haréfa. Bangunan-bangunan monolith tersebut adalah batu peringatan yang membuktikan bahwa

« ÎnapoiContinuă »