Imagini ale paginilor
PDF
ePub

anggota gereja yang pindah ke luar daerah mereka karena pekerjaan mereka atau karena sebab-sebab yang lain, mendirikan jemaat-jemaat di situ yang mempunyai hubungan dengan Gereja di daerah asal mereka, jadi tidak dengan Gereja di tempat tinggal mereka yang baru; hanya beberapa Gereja, seperti umpamanya Gereja Kalimantan Evangelis, menganjurkan kepada anggota mereka untuk dalam keadaan sedemikian, menggabungkan diri dengan jemaat-jemaat yang sudah ada. Teranglah bahwa di sini terletak akar ketegangan-ketegangan, khususnya jika jemaat-jemaat ini menjadi aktif dalam pekabaran Injil, seperti agaknya di Kalimantan Barat. Di sini anggota-anggota baru dari suku-suku Dayak, penduduk daerah ini, tidak menjadi anggota dari Gereja daerah ini, tetapi mereka di tarik dalam jemaat-jemaat Gereja Batak atau Gereja Protestan Indonesia bagian Barat yang terdiri terutama dari orangorang dari Indonesia bagian Timur. Di belakang ke-tidak-sediaan untuk menggabungkan diri dengan jemaat-jemaat setempat atau dengan Gereja regional dari tempat tinggal yang baru, tampaklah satu dari soalsoal dasar yang memisahkan Gereja-gereja yang satu dari yang lain: berpikir secara suku, atau lebih tegas: egoisme suku. 5) Bahwa Konsultasi Oktober 1974 di Sukabumi berani membuka pokok yang penting ini dan, bertolak dari situ, memberikan prioritas kepada pengembangan suatu kesadaran oikumenis pada tingkat lokal dan regional, semoga akan membuka jalan di masa depan untuk pembicaraan-pembicaraan yang sungguh-sungguh dan jujur antara Gereja-gereja.

III.

Keesaan sebagai proses bertumbuh bersama-sama

Dengan latarbelakang perkembangan-perkembangan ini, bagaimana dapat dinilai apa yang terjadi di dalam DGI dan di dalam Gereja-gereja anggotanya mengenai gerakan menuju keesaan dalam ke-25 tahun sejak DGI didirikan dan khususnya untuk memperingatkan lagi akan hal itu - dalam hubungan dengan pasal 3 dari anggaran Dasar DGI yang tetap memegang pada "Pembentukan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia" sebagai alasan untuk perwujudan DGI? Apakah pekerjaan DGI sungguh justru di bidang ini paling tidak berhasil, seperti yang dikatakan?

Jika "Keesaan" diartikan sebagai bentuk organisasi maka pertanyaan-pertanyaan ini tentu dapat dijawab sedemikian, bahwa mengenai hal ini, DGI dapat menunjukkan hanya sedikit hasil. Tetapi jika diperhatikan keseluruhan latarbelakang-latarbelakang suku, kebudayaan, masyarakat, dan agama yang beraneka warna, yang dari padanya Gereja-gereja di Indonesia telah bertumbuh, dan jika selanjutnya dilihat hubungan 5) Soal sukuisme dibahas oleh Nathanael Daljoeni dalam karangannya Sukuisme sebagai hambatan kerjasama antar Gereja, dalam Peninjau I, 1974, 230-237.

pada umumnya antara Gereja-gereja ini sekarang, maka tak mungkin diambil alih tanpa kritik kesimpulan tentang tidak berhasilnya DGI di bidang keesaan. Dalam ke-25 tahun yang lampau ia telah membuat halhal yang penting untuk meniadakan ketegangan-ketegangan antara pelbagai Gereja dan untuk memperkembangkan suatu kesadaran akan kebersamaan dan persaudaraan yang juga memungkinkan pembahasan persoalan-persoalan yang sensitif. Gereja-gereja yang untuknya kaki langit bumi hampir sama dengan batas-batas sukunya, telah "dibuka" oleh DGI, sehingga mereka sadar akan dunia sekitar. DGI telah mengusahakan untuk menstimulir kerjasama Gereja-gereja secara regional, khususnya Gereja-gereja yang bertumbuh pada latarbelakang budaya dan bahasa yang sama, seperti di Jawa Tengah, sebagai langkah pertama ke arah keesaan dalam rangka yang lebih besar, dengan mengajak mereka untuk mendirikan Dewan-dewan Gereja-gereja Wilayah. Selanjutnya pelbagai Gereja rupanya sampai sekarang menunjukkan hanya sedikit kegembiraan dalam hal keesaan yang lebih besar, karena sebagian besar dari tenaga mereka diarahkan untuk melawan penyakit perpecahan dalam tubuh mereka sendiri; juga di sini DGI dapat memainkan peranan perantara. Akhirnya - dan catatan ini agaknya kedengarannya lebih penting di luar Indonesia dari pada di Indonesia - DGI juga telah mengangkat ketajaman dari soal-soal dan pertentangan-pertentangan konfesionil yang kadang-kadang ada di antara Gereja-gereja: persoalan-persoalan ini tidak menghalangi pertukaran pendeta jika di daerah tertentu satu Gereja tidak mempunyai cukup pendeta untuk jemaat-jemaatnya sendiri, sehingga jemaat-jemaatnya ini dilayani oleh seorang pendeta dari Gereja lain; persoalan-persoalan itu juga tidak menghalangi penerimaan dari anggota-anggota jemaat dari Gereja lain berhubung dengan perpindahan, jika mereka minta untuk jadi anggota dari jemaat itu. Demikianlah dalam jangka waktu 25 tahun yang terakhir ini Gereja-gereja dengan latarbelakang Pentakosta dan Mennonit telah berkumpul dalam DGI dengan Baptis dan Methodis, dengan Gereja-gereja Gereformeerd dan dengan mereka yang tergabung dalam Federasi Lutheran Sedunia dan Dewan Gereja-gereja Reformed. Tentulah diharapkan bahwa di kemudian hari latarbelakang-latarbelakang dan tradisi-tradisi yang ber-bedabeda ini akan lebih banyak lagi menyumbangkan rangsangan yang kreatip dalam menangani bersama soal-soal dan problema-problema yang bermacam-macam itu yang menghadapi persekutuan Kristen di Indonesia.

Tetapi bukan hanya di dalam keluarga Gereja-gereja Protestan hubungan-hubungan telah mendalam dengan macam-macam cara, tetapi juga hubungan dengan Gereja Katolik yang tegang berdasarkan sejarah P.I., khususnya di beberapa daerah, dan untuk sebagian masih tegang, telah menjadi lega. Badan Indonesia yang mirip dengan SODEPAX, Sodepaxi (i = Indonesia), mengadakan suatu konferensi di Cipayung pada tahun 1970. Pada konferensi ini orang Katolik dan Protestan bersama-sama memikirkan tentang peranan mereka dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun. 6)

6) Laporan yang dikeluarkan oleh konperensi, Membangun manusia pembangun, Ende-Flores 1970, 295 halaman, telah menarik banyak perhatian di Indonesia.

Konsultasi yang erat antara MAWI dan DGI mengenai perkembangan-perkembangan politik dalam negeri, telah lebih memperkuat kesadaran akan suatu persekutuan yang dalam antara kedua kelompok gerejani. Demikianlah kira-kira dua tahun yang lalu diadakan pembicaraan-pembicaraan bersama mengenai soal Undang-undang Perkawinan baru. Undang-undang ini yang disusun sebagai undang-undang sipil, pada akhirnya memberikan konsesi-konsesi penting kepada hukum Islam.

Tidak dengan tindakan-tindakan di bidang organisasi, tetapi dengan, lebih dari dahulu, membuka diri yang satu untuk yang lain, maka Gereja-gereja Indonesia telah mulai bertumbuh bersama. Apakah dengan itu tuntutan-tuntutan yang dibuat pada tahun 1953 untuk menciptakan satu liturgi, untuk merumuskan satu pengakuan iman bersama dan untuk menyusun satu peraturan Gereja bersama, sudah dilupakan? Tidak, walaupun sekarang ada kecenderungan untuk melunakkan tuntutantuntutan ini :

a) Liturgi harus bersifat missioner; yang menarik banyak anggota baru ialah cara kebaktian Kristen; karena itu maka dalam bentuknya harus dijauhkan segala ciri bagan. Hal ini tidak berarti suatu penolakan secara prinsip dari satu Liturgi untuk semua Gereja di Indonesia. Liturgi sedemikian akan dapat dipakai dalam kebaktian pada hari Minggu tertentu tiap bulan, seperti juga pada kesempatan-kesempatan oikumenis. Tetapi melampaui itu, Gereja-gereja juga dapat diajak untuk memperhatikan kekhususan-kekhususan kebudayaan anggota-anggota mereka dan untuk menjadikan kekhususan-kekhususan itu berguna untuk kebaktian; hal ini mengenai bentuk, bahasa, nyanyian dan suasana dari liturgi. Bukanlah suatu rahasia bahwa di banyak Gereja dan jemaat di Indonesia jumlah pengikut kebaktian lebih besar daripada jumlah anggota jemaat. Karena itu Gereja-gereja mempunyai tanggungjawab khusus untuk menerangkan isi dan wujud kebaktian dengan liturgi.

b) Akhir-akhir ini makin lama makin banyak dibicarakan Pemahaman Iman bersama lebih dari pada Pengakuan Iman bersama. Suatu pemahaman sedemikian harus juga ada hubungannya dengan keadaan dan harus berakar dalam jemaat-jemaat. Karena itu agaknya sekarang lebih perlu untuk mengumpulkan bahan-bahan untuk katekisasi dan untuk menyelidiki melalui pengajaran katekhismus sampai berapa jauh bahan-bahan itu membawa jemaat-jemaat, mulai dari dasar Injil, dalam suatu pertemuan yang hidup dengan lingkungan sekitar — termasuk lingkungan agama sekitar. Selanjutnya pada dasar pelbagai pengalaman yang dikumpulkan sedemikian, barangkali dapat bertumbuh satu rumusan iman bersama.

c) Soal peraturan Gereja bersama sekarang tidak dianggap sebagai soal yang mendesak. Mengganti ini maka di Pematang Siantar, tahun 1971, diterima struktur baru untuk DGI. Dengan struktur ini cara bekerja DGI lebih mudah dimengerti oleh Gereja-gereja anggota dan_karena itu kerjasama mereka dengan penuh pengertian akan diperkuat. Ditentukan bahwa badan pengurus DGI di antara dua Sidang Raya ialah Badan Pekerja Lengkap, yang bersidang sekurang-kurangnya sekali

setahun. Tiap Gereja-anggota menunjuk seorang yang menjadi anggota BPL atas nama Gereja itu. Untuk perkara-perkara harian diangkat Badan Pekerja Harian dengan seorang ketua umum (Dr. J.L. Abineno), tiga ketua (Dr. T.B. Simatupang, Prof. Dr. P.D. Latuihamallo dan Pdt. W. Rumambi) dan beberapa wakil pelbagai Gereja yang tinggal di Jakarta. Tiap tahun BPH memberikan laporan kepada BPL dan menerima petunjuk-petunjuk untuk pekerjaan tahun depan. Juga menjadi anggota dari BPH sekretaris umum DGI (Dr. S.A.E. Nababan) dan bendahara (Dr. O.E. Engelen). Di samping sekretariat umum dan bagian perbendaharaan maka kantor DGI di Jakarta dibagi dalam tiga departemen Departemen Keesaan dan Kesaksian (sekretaris : Pdt. Ardi Soejatno), Departemen Pendidikan dan Komunikasi Massa (sekretaris Pdt. P.M. Sihombing) dan Departemen Pelayanan dan (partisipasi Gereja dalam) Pembangunan (sekretaris : Drs. H.J. Pooroe), yang masing-masing mempunyai lagi beberapa bagian. Melalui departemen-departemen ini organisasi-organisasi seperti umpamanya Lembaga Alkitab Indonesia, Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, Sekolah-Sekolah Tinggi dan Akademi-Akademi Theologia, dlsbnya mempunyai hubungan dengan DGI. Di samping itu terdapatlah tiga lembaga yang juga di bawah pengawasan Badan Pekerja Lengkap. Lembaga-lembaga ini terutama harus membantu supaya pintu DGI ke arah masyarakat, tempat di mana Gerejagereja hidup, tinggal terbuka. Dengan mengambil alih tugas-tugas khusus, lembaga-lembaga ini di satu pihak meringankan pekerjaan departemen-departemen; di lain pihak mereka menarik perhatian departemendepartemen kepada soal-soal khusus dengan analisa-analisa dan laporan-laporan. Ketiga lembaga ini ialah: a) Dharma Cipta atau Development Centre (direktur: Drs. W. Lalisang), yang, di samping melaksanakan proyek-proyek pembangunan sendiri, a.l. mengutus motivator-motivator yang dididik dalam kursus-kursus khusus, kepada persekutuan-persekutuan desa terpencil, tempat mereka harus mencoba mempertinggi tarap hidup masyarakat dan bekerjasama dengan penduduk selama sekurang-kurangnya tiga tahun, bertolak dari kemungkinan-kemungkinan setempat; b) Institut Oikumene Indonesia (direktur-direktur Drs. P. Nasution dan Pdt. D.R. Maitimoe) yang khususnya bekerja di bidang mendidik kaum awam dan melatih kader-kader gerejani; melalui "program kerjasama" (dahulu proyek khusus) lembaga ini berusaha untuk mendapat hubungan dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat, baik yang Kristen maupun yang bukan Kristen; akhirnya c) Lembaga Penelitian dan Studi (direktur: Dr.F. Ukur), yang disamping tugas-tugas lain, sedang menyelesaikan proyek studi Gereja-gereja Indonesia yang dimulaikan pada tahun 1968. Dalam proyek ini Gereja-gereja sendiri harus melaporkan tentang latar belakang sejarahnya, tentang struktur dan pengurusannya, tentang bidang-bidang pekerjaan dan aktivitas-aktivitasnya, tentang hubungan-hubungannya dengan dunia sekitarnya, termasuk pemerintah, dan tentang beberapa soal yang mereka menghadapi sekarang. Berdasarkan data yang dikumpulkan secara demikian, Gereja-gereja itu sendiri, tetapi juga Gereja-gereja yang lain, ditolong untuk mendapat suatu gambaran yang tepat tentang dirinya sendiri, yang berdasarkan statistik dan tidak atas perkiraan-perkiraan yang samar-samar. Dengan demikian mereka dapat menganalisa secara lebih tajam kelemahan-ke

lemahan dan kekuatan-kekuatan mereka dan membangun jalan mereka di masa depan atas perkiraan-perkiraan yang realistis. Tidak dengan semua Gereja program ini menghasilkan tujuan yang diharapkan; beberapa Gereja hanya berhasil mengumpulkan bahan-bahan yang tidak lengkap. Maka lebih menggembirakan bahwa dalam pada itu telah dapat dimulaikan penerbitan laporan-laporan lengkap yang pertama dengan judul seri "Benih Yang Tumbuh" 7). Bidang-bidang penelitian yang lain yang sekarang dikerjakan ialah keadaan non-pribumi terutama minoritas Tionghoa di Indonesia dan juga keadaan Islam pada masakini di Indonesia. Dimulaikan pula suatu penyelidikan mengenai peranan pietisme di Gereja-gereja Indonesia dan sehubungan dengan itu tentang soal hubungan antara keselamatan individu dan pertanggung-jawaban sosial dalam keadaan di Indonesia; seíain dari itu maka suatu keperluan yang mendesak ialah seorang ahli ilmu pengetahuan yang menyelidiki pengaruh adat atas jemaat dan Gereja-gereja di Indonesia.

IV.

Menghadap 25 tahun yang akan datang

25 tahun sesudah pendirian DGI dan beberapa bulan sebelum SidangRayanya yang kedelapan yang direncanakan untuk diadakan pada bulan Juli 1976 di Salatiga (Jawa Tengah), kita didorong bukan hanya untuk mengadakan suatu penyelidikan tentang keadaan sekarang, tetapi juga untuk melihat ke masa depan. Hal yang demikian diberikan oleh Dr. T.B. Simatupang dalam buku kecil yang diterbitkan pada kesempatan hari ulang tahun DGI yang ke-25 8). Soal terberat yang menghadapi bangsa Indonesia dan Gereja Kristen di dalamnya masa 25 tahun yang akan datang menyongsong tahun 2000 ialah soal pertumbuhan penduduk, jika demikianlah ujar Dr. Simatupang Keluarga Berencana berhasil untuk mengurangi jumlah kelahiran dengan 25%, maka pada tahun 2000 akan terdapat kira-kira 250 juta orang Indonesia, kira-kira dua kali sebanyak sekarang.

7) Yang sudah dicetak ialah laporan-laporan mengenai Gereja-gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah, Gereja Kristen Pasundan, Gereja Kristen Jawa Tengah Utara, Gereja Batak Karo Protestan, Gereja Injili di Tanah Jawa, Gereja Toraja (Rante Pao), Gereja Kristen Jawi Wetan, dan Gereja Protestan Sulawesi Tenggara. Laporan-laporan yang sedang dicetak ialah mengenai Gereja Kristen Injili Irian Jaya, Gereja Masehi Injili Halmahera dan Gereja Masehi Injili di Timor. Diharapkan bahwa dua laporan regional, yaitu mengenai gereja-gereja di Sumatera Utara dan tentang gereja-gereja di Sulawesi, seperti pula Laporan Nasional mengenai keadaan gereja-gereja di Indonesia, akan dapat diterbitkan tahun 1976. 8) Dua Puluh Lima Tahun DGI 1950-1975. Merenungkan pengalaman DGI selama 25 tahun dan memasuki perempat terakhir abad ke-20. 124 halaman, Jakarta (BPK Gunung Mulia) 1975. Dengan karangan-karangan oleh T.B. Simatupang, J.L. Ch. Abineno, P.D. Latuihamallo dan Ardi Soejatno, bdn. tinjauan tentang buku ini dalam Peninjau II, 1975, 150-153.

« ÎnapoiContinuă »