Imagini ale paginilor
PDF
ePub

GEREJA MASEHI INJILI HALMAHERA

Oleh

A. L. Fransz

Daftar Isi :

Bab I: Dari manakah Gereja Masehi Injili Halmahera?

Bab II Apakah GMIH itu?

Bab III Apa yang dibuat oleh GMIH?

Bab IV: Bagaimana hubungan GMIH dengan dunia sekitar ?

Bab V Kemana Gereja Masehi Injili Halmahera ?

BAB I

[merged small][subsumed][subsumed][ocr errors][subsumed][subsumed][subsumed]

DARI MANAKAH GEREJA MASEHI INJILI HALMAHERA ?

A. Tempat GMIH bekerja

GMIH bekerja di Kabupaten Maluku Utara, sebagian dari propinsi (Dati I) Maluku. Maluku Utara terdiri dari 353 buah pulau. Yang paling besar ialah pulau Halmahera. Arti kata "Halmahera" ialah daratan atau benua, karena, dibandingkan dengan pulau-pulau yang lain itu Halmahera merupakan suatu benua.

Dahulu pulau Halmahera disebut Jailolo. Mungkin hal ini terjadi pada waktu penjajahan Inggeris pada permulaan abad ke-XIX. Waktu itu diusahakan untuk mendirikan kembali kesultanan Jailolo.

Pulau-pulau lain yang terkenal di Maluku Utara ialah antara lain pulau Ternate, Tidore, Bacan, Morotai.

Pada tahun 1972 jumlah penduduk Maluku Utara kurang lebih 350.000 orang. Mata pencahariannya adalah bertani, berburu dan menangkap ikan.

Penduduk Halmahera terdiri dari beberapa suku. Berdasarkan bahasa dan asal, suku-suku ini dapat digolongkan dalam dua kelompok :

1) Laporan ini akan diterbitkan kembali sebagai nomor 9 dalam seri "Benih Yang Tumbuh" dilengkapi dengan lampiran-lampiran.

3

1. Yang kebanyakan tinggal di jasirah Utara. Mereka mempunyai satu dasar bahasa dengan penduduk pulau-pulau Ternate dan Tidore.

2. Yang kebanyakan tinggal di ketiga jazirah yang lain. Mereka berdekatan dengan orang Irian Jaya.

"Di pulau Halmahera bagian Tengah masih ada suku-suku terasing. Sebelum Permesta mengganggu keamanan di daerah itu (sekitar tahun 1960), sudah ada usaha-usaha pembudayaan suku-suku terasing itu, tetapi kemudian terbengkalai karena gangguan keamanan itu. Pada waktu itu pembudayaan dilakukan antara lain terhadap suku Tugutil Lino di Kecamatan Tobelo.

Pemerintah setempat di Halmahera telah mengusahakan adanya pendaftaran terhadap suku-suku terasing sebagai berikut :

a) Suku Tugutil di Kecamatan Wasile sebanyak 150 orang, b) Suku Tugutil di Kecamatan Tobelo sebanyak 186 orang, c) Suku Manggei di Kecamatan Dofa sebanyak 78 orang" (kutipan dari karangan Henry Walandouw dalam Sinar Harapan, 2 Januari 1973).

B. Sejarah pra-Zending Belanda. Abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-19

Pada abad ke-16 Xaverius, seorang utusan Injil Yesuit, datang di Halmahera dan bekerja di situ dengan berkat besar. Banyak orang menjadi Kristen, di pesisir Barat dari jazirah Utara, dan terutama di pesisir Timur yang disebut pantai Moro, tempat Galela dan Tobelo sekarang, barangkali juga di pulau Morotai. Pun seorang Raja dari kerajaan Tolo di sebelah Utara dari Tobelo sekarang, menjadi Kristen bersama dengan segenap rakyatnya.

Tetapi agama Kristen dibawa dalam persoalan-persoalan politik antara orang Spanyol dan Portugis. Persoalan-persoalan ini juga memisahkan Sultan Ternate dari Sultan Tidore. Terjadilah perang dan dalam perang itu agama Kristen di Halmahera sama sekali dibasmi. Mungkin sekali agama Kristen juga belum terlalu mendalam, tetapi kenyataannya ialah bahwa dalam perang itu beribu-ribu orang Kristen Halmahera dibunuh.

Sesudah Portugis dan Spanyol, datanglah orang Belanda. Mereka tidak berusaha untuk mengkristenkan orang Halmahera. Mereka membuat sesuatu persetujuan dengan Sultan Ternate, bahwa jika seorang Islam menjadi Kristen, ia diserahkan kepada Sultan Ternate, dan jika seorang Kristen menjadi Islam, ia diserahkan kepada Kompeni. Orang kafir tidak disinggung.

Sultan Tidore lebih keras daripada Sultan Ternate. Bagian terbesar dari rakyat Tidore menjadi Islam dengan paksaan. Di kesultanan Ternate orang juga dibujuk untuk menjadi Islam dengan dijanjikan bebas dari pembayaran pajak, tetapi paksaan tidak pernah dilakukan. Mungkin sifat orang Tidore berlainan daripada sifat orang Ternate. Mungkin orang Tidore dapat dipaksa sedang orang Ternate tidak membiarkan diri dipaksa. Karena Sultan Ternate sungguh tidak kurang fanatiknya dibanding dengan Sultan Tidore. Mungkin juga lebih berguna untuk mempunyai banyak penduduk kafir, karena mereka membayar pajak, sedang orang Islam dianggap sebagai orang Ternate yang tidak usah membayar pajak.

Sebenarnya Sultan-Sultan tidak mempunyai keberatan terhadap agama Kristen, tetapi agama ini dianggap sebagai agama Belanda, sehingga orang Halmahera yang menjadi Kristen, dianggap orang yang di bawah pemerintahan Belanda. Karena itu mereka juga takut bahwa Zending akan mengakibatkan lebih banyak campur tangan pemerintah Belanda dalam perkara-perkara kesultanan.

C. Zaman Zending Belanda pertama (1866-1941)

1. Permulaan pekerjaan di Galela

7 Agustus 1865 Van Hasselt, Jaesrich, Van Dijken dan Kampen diutus oleh "Utrechtsche Zendings Vereeniging" ke Galela untuk menyelidiki keadaan di situ. Kesan pertama sangat baik. Diputuskan supaya hulpprediker Klaassen dan petani Van Dijken akan bekerja di Galela dan karena kesehatan Klaassen, yang tadinya bekerja di Nieuw Guinea, kurang baik, diputuskan supaya hulpprediker De Bode yang berada di Surabaya untuk pergi ke Bali, akan dipanggil untuk pergi ke Galela.

19 April 1866 De Bode dan Van Dijken tiba di Galela. Klaassen tiba bulan Juli. "Utrechtsche Zendings Vereeniging" (U.Z.V.) yang mengutus mereka, seperti semua badan Zending di Nederland pada waktu itu, merupakan suatu perserikatan dari orang-orang yang merasa terpanggil untuk membawa Injil "sampai ke ujung bumi". Belum ada keyakinan bahwa pekabaran Injil adalah panggilan yang tidak terpisahkan dari gereja dan bukan suatu usaha orang-orang pribadi yang merasa terpanggil. Jadi badan Zending itu terdiri dari anggotaanggota dari pelbagai gereja. Coraknya pietis.

Pada permulaan, pekerjaan di Galela mendapat banyak tantangan dari pihak Islam. Utusan-utusan Injil tidak diizinkan bekerja di pedalaman dengan alasan bahwa Sultan tidak dapat menjamin keamanan mereka di pedalaman.

Pada permulaan tahun 1868 tibalah hulpprediker Been di Galela, tetapi pekerjaannya belum bertumbuh. Sekolah yang telah dibuka hanya mempunyai 10 murid. De Bode tidak tahan lagi tinggal di Galela tanpa pekerjaan dan ia meninggalkan Galela.

2. Pekerjaan Van Dijken

Dari ketiga utusan Injil: Klaassen, Van Dijken dan Been, Van Dijkenlah yang memainkan peranan penting dalam pekerjaan di Galela, karena ia seorang petani dan tanah di pesisir kurang baik untuk pertanian, maka Van Dijken mendapat izin dari Sultan untuk tinggal di pedalaman, di tepi Danau. Baru kemudian diketahui bahwa tempat yang diberikan kepadanya, menurut kepercayaan orang Halmahera, adalah tempat tinggal seorang raksasa "Tomadoa", yang pasti akan membunuh orang yang berani tinggal di tempat itu. Dengan sengaja mereka memberikan tempat itu kepada Van Dijken supaya ia meninggal dunia. Ini menurut keterangan dalam buku A Hueting, De geschiedenis der Zending op het eiland Halmahera. Menurut catatan dari Sdr. R. Sumtaky BA, seorang guru di Tobelo yang memberikan catatan mengenai latarbelakang historis GMIH (lihat lampiran), tempat yang diberikan kepada Van Dijken adalah tempat tinggal orang Moro, yang sangat ditakuti oleh penduduk asli. Tempat itu disebut MORODOKU, artinya: kampung orang Moro.

Tentang orang Moro itu memang sering beredar ceritera di kalangan penduduk tentang raksasa, tetapi ceritera itu merupakan lelucon saja, orang tidak lagi percaya adanya raksasa itu.

Jadi menurut R. Sumtaky BA maka tempat yang ditunjuk kepada Van Dijken untuk membangun rumahnya di situ, adalah kampung orang Moro, MORODOKU, dan harapan mereka pastilah Van Dijken akan dibunuh oleh orang Moro itu.

Yang membantu Van Dijken membangun pondoknya hanya beberapa orang Ternate dan Moli, seorang Galela yang pernah bekerja untuk utusan Injil Ottow di Nieuw Guinea. Ia pernah minta kepada utusan Injil Jaesrich yang juga bekerja di Nieuw Guinea untuk mengirim utusan-utusan Injil ke Galela. Orang Galela menyebutnya orang Serani walaupun ia belum dibaptis. Ia menjadi penghubung antara penduduk asli dan tuan Van Dijken. Penduduk asli itu takut mendekati mereka. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan Van Dijken dan pembantunya tidak didekati oleh penduduk asli. Tetapi lama kelamaan mereka melihat bahwa Van Dijken dan pembantunya tidak diapa-apakan oleh orang Moro dan lambat laun mereka mulai datang. Kata mereka: "Duma wi doohawa". Artinya duma = tetapi; wi dia; doohawa tidak diapa

=

[ocr errors]

apakan. Kemudian nama tempat yang tadinya MORODOKU, dirobah menjadi DUMA ). Kampung Duma inilah tempat Injil pertama-tama dikabarkan di Halmahera. Walaupun pada abad ke-16 sudah ada orang Kristen di Galela, dan Tobelo berkat pekerjaan Xaverius, namun waktu Belanda mulai bekerja di Galela, tidak ada lagi sisanya.

Semboyan Van Dijken: "Melalui yang dapat dilihat sampai kepada yang tidak dapat dilihat". Maksudnya: Melalui pekerjaan dengan pacul sampai kepada pekabaran Injil. Dalam hal ini ia didukung oleh Pengurus U.Z.V. yang mengatakan: "Begitulah jalan Allah!"

Van Dijken bertunangan. Bakal isterinya tinggal di Surabaya. Tetapi ia meninggal di situ akibat penyakit kholera. Pada suatu waktu Van Dijken jatuh sakit dan harus berobat di Ternate. Ia tinggal di rumah Ds. Höveker dari Indische Kerk. Ia dirawat oleh Nn. Maria Soentpiet, seorang wanita Ternate yang tinggal di rumah Ds. Höveker. Kemudian hari, waktu pondoknya di tepi danau Galela telah dibangun, Van Dijken kawin dengan Nn. Soentpiet. Perkawinan ini sangat penting untuk pekerjaan Van Dijken, karena isterinya dapat menolongnya bukan saja untuk mengenal tumbuh-tumbuhan di Halmahera tetapi juga dalam soal bahasa. Ia kenal bahasa Ternate dan bahasa Galela berdekatan dengan bahasa Ternate. Untuk seluruh pekerjaan Pekabaran Injil di Duma nyonya Van Dijken menjadi suatu berkat besar.

Pekerjaan Van Dijken "yang dapat dilihat" itu, yaitu pekerjaan pertaniannya, menarik perhatian orang Galela. Mereka tidak takut lagi dan rumah Van Dijken menjadi tempat orang berkumpul. Setiap orang Pemerintah yang datang di Ternate, juga mengunjungi Duma untuk melihat pekerjaan Van Dijken. Ia menanam kopi, coklat, panili, pala dan segala tanaman palawija, memelihara sapi juga seekor kuda. Juga ditanam tembakau dan pada malam hari bersama isterinya ia menggulung serutu dari tembakau itu. Sampai sekarang masih dikenal tembakau Galela.

Ketika ada wabah kholera, Van Dijken dan nyonya dapat menolong banyak orang. Van Dijken dapat obat dari seorang kawan di Ternate dan Ny. Van Dijken membuat obat dari daun-daunan. Banyak orang tertolong.

Usaha lain untuk menolong orang ialah meminjamkan uang tanpa bunga. Van Dijken juga membawa sarong-sarong Ternate yang dijualnya dengan harga rendah.

*) Menurut Hueting, Van Dijken memberikan nama Duma kepada tempat-tinggalnya karena tempat itu teduh sekali, seperti di kuburan. Arti kata "duma" ialah keteduhan.

« ÎnapoiContinuă »