Imagini ale paginilor
PDF
ePub

hubungan erat dengan pokok yang dibicarakan terakhir (4). Atas dasar kedua sub-bagian terakhir dari pasal 43 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950 adalah jelas, bahwa semua agama di Indonesia, yang menyetujui Pancasila, dapat menuntut suatu perlakuan yang sama menurut hukum (perlindungan yang sama, sumbangan yang sama, dan sebagainya) dari pemerintah. K.H.A. Wachid Hasjim mengatakan: "Pemerintah atau Kementerian Agama tidaklah menjalankan kewajiban-kewajiban yang khusus bagi masing-masing golongan agama, tidak membuka mesjid, tidak membuka gereja, tidak klenteng, itu kewajiban golongan masing-masing. Tetapi kalau Pemerintah diminta bantuannya, supaya tidak menjadi bahan agitatie dan oppositie, tentu juga memberikan sekedar bantuan yang dapat diberikan. Dan pelayanan Kementerian Agama terhadap pada semua agama adalah adil, tidak melebihkan sesuatu golongan, mengurangi perhatian kepada golongan yang lainnya” 47).

(6) Akhirnya, walaupun deklarasi-deklarasi dan konvensi-konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dibicarakan di atas ini tidak mempunyai kekuatan undang-undang di Indonesia dan di kebanyakan negaranegara lain di dunia, namun semua negara mempunyai kewajiban moril, setidak-tidaknya patut mempunyainya, untuk memperhatikan isi deklarasi-deklarasi dan konvensi-konvensi. Deklarasi-deklarasi dan Konvensi-konvensi dapat memberi dorongan, supaya kebebasan beragama dan keyakinan diatur lebih lanjut oleh undang-undang nasional dan dengan demikian diperkuat. Informasi yang kami berikan mengenai kebebasan beragama dan keyakinan melalui uraian kami ini tidak mempunyai tujuan lain daripada memperkuat kebebasan beragama dan keyakinan di Indonesia. Kebebasan beragama dan keyakinan meninggikan martabat bangsa dan negara, tetapi intoleransi agama dan keyakinan menurunkan kewibawaan dia yang memprakarsai intoleransi, dengan tidak pandang bulu apakah ia ini suatu negara tertentu, suatu agama tertentu, suatu kelompok agama tertentu, suatu partai politik tertentu atau seorang oknum tertentu. Kebenaran agama dan keyakinan tidak akan dan tidak mungkin akan menang dengan paksaan, melainkan hanya dalam kebebasan saja. Dan itulah sebabnya kebebasan beragama dan keyakinan yang sudah tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia adalah suatu harta yang berharga.

47) K.H.A. Wachid Hasjim, Kedudukan Agama dalam Kementerian Agama, p. 11.

MASALAH PEMERATAAN PENDAPATAN DI INDONESIA *)

I. Aspirasi dasar yang menjadi landasan konsensus nasional, di atas mana kemudian menjadi fundamen pokok perumahan bangsa Indonesia adalah masyarakat adil makmur, materil spirituil atau masyarakat sosialis yang religius. Formulasi-formulasi demikian adalah thema pokok dalam pendidikan bangsa dalam menggalang kekuatan untuk pembebasan dan kemerdekaan nasional. Pokok-pokok pikiran itu kemudian dituangkan secara permanen dalam Mukadimah UUD 1945 dan dipertegas kembali dalam beberapa pasal UUD 1945.

Cita-cita dasar tersebut di atas adalah tujuan utama dari persatuan dan kemerdekaan nasional. Periode setelah kedaulatan nasional merupakan usaha penjabarannya ke dalam tata mekanisme kehidupan bangsa.

II. Dalam konteks bidang sosial-ekonomi, cita-cita itu juga menjadi landasan utama. Bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan (pasal 33 ayat 1 UUD 1945) dimana fakir miskin dan yatim piatu dipelihara oleh negara, sebahagian dari rumusan UUD 1945 tentang ciri kwalitatip dari masyarakat yang dikehendaki.

Masa 30 tahun kemerdekaan sudah merupakan suatu kurun waktu yang dapat dinilai, sudah sejauh mana cita-cita tersebut di atas memperoleh kemajuan dalam perumahan bangsa. Hal positip kita lakukan secara berkala, agar commitment kita terhadap cita-cita besar itu tetap terpelihara dan agar selalu menjadi landasan kebijaksanaan umum pengaturan kehidupan bangsa.

III. Kenyataan bahwa secara keseluruhan tingkat pendapatan bangsa kita masih terlalu rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain (baru sekitar US$ 156 income per capita) adalah indikasi kwantitatip dari tingkat kemakmuran kita. Secara kwalitatip, sebagian besar dari

*) Risalah ini disampaikan oleh Dharma Cipta-DGI dalam kesempatan konsultasi studi ten tang penjabaran Pancasila yang diselenggarakan oleh Universitas Kristen Satya Wacana dan IOI-DGI, tanggal 5-7 Nopember 1976 di Jakarta.

golongan berpenghasilan rendah belum dapat mengkonsumir 2250 kalori sehari, suatu keadaan yang sering ditandai sebagai keadaan melarat mutlak. Oleh karena itu dalam politik pembangunan kita di masa-masa mendatang, dua tujuan utama harus dikejar secara serius dan bertanggung jawab, masing-masing :

1. Bagaimana memelihara tingkat pertumbuhan ekonomi, minimal sama dengan beberapa tahun terakhir, dimana tingkat pertumbuhan per tahun sekitar 7%;

2. Bagaimana memelihara stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, sambil merubah struktur perekonomian dimana golongan berpenghasilan rendah menjadi sasaran hasil pembangunan.

Membicarakan keadilan sosial termasuk di dalamnya perataan pembahagian pendapatan, adalah suatu usaha besar yang menyangkut perubahan struktur masyarakat. Usaha itu hanya mungkin dicapai jika ada political will yang secara konsisten mengabdi kepada citacita dasar di dalam konstitusi sehingga rumusan-rumusan kebijaksanaan konsekwen yang didukung oleh institusi dan aparat-aparat yang bersih dan kapabel.

IV. Beberapa kenyataan obyektip yang belum menguntungkan dalam rangka keadilan sosial dan perataan pendapatan nasional adalah : 1. Horisontal, pendidikan umum belum merata di kalangan luas karena masih terbatasnya sarana dan personil. Belasan juta anakanak umur sekolah belum dapat ditampung dalam sekolah-sekolah yang ada. Kurikulum pendidikan formil lebih mengarah kepada intelektualisme dan belum mengutamakan ketrampilan fungsionil, sehingga banyak tenaga terdidik tidak dapat langsung ditampung dalam sektor-sektor pembangunan yang ada.

2. Latihan-latihan ketrampilan masih sangat terbatas, sehingga sejumlah besar orang yang ingin pindah profesi ke lapangan lain, misalnya dari petani ingin jadi buruh industri, tidak mudah memperoleh lowongan.

3. Konsentrasi obyek-obyek pembangunan pada daerah-daerah tertentu menyebabkan migrasi penduduk ke pusat-pusat pengembangan ekonomi, menyebabkan tenaga-tenaga terdidik berkonsentrasi pada wilayah tertentu serta meninggalkan daerah asalnya yang tetap statis perkembangannya.

4. Vertikal, perkembangan yang berarti baru berkisar pada golongan kecil berpenghasilan tinggi dan golongan yang berpenghasilan menengah. Golongan berpenghasilan rendah tidak mengalami perubahan yang berarti, mengingat kemajuan yang dicapainya diimbangi dengan pertambahan penduduk di kalangan ini.

5. Fasilitas kredit dan kesempatan berpartisipasi secara nyata masih terutama didasarkan pada efisiensi, sehingga yang memperoleh adalah kalangan terbatas dalam masyarakat. Fasilitas kredit umum baru dimungkinkan kepada kalangan pengusaha atau petani-petani yang memiliki sawah.

6. Kesempatan untuk menginvestir modal asing dengan teknologi tinggi, padat modal sehingga penyerapan tenaga kerjanya sangat terbatas dan selektip. Pada pihak lain, lemahnya pembatasan-pembatasan yang diperlukan menyebabkan banyak usaha kecil yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan besar dengan teknologi tinggi serta pengalaman dan management yang lebih besar.

7. Pajak progressip sebagai salah satu usaha untuk (melalui administrasi negara) memotong sebahagian besar penghasilan kalangan berpendapatan tinggi untuk dipindahkan ke sektor-sektor yang berguna untuk kalangan berpenghasilan rendah, belum begitu efektip dijalankan. Malahan pada pihak lain dimungkinkan fasilitas pemutihan modal dan tax holiday, semuanya memungkinkan kalangan tertentu memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya, sementara sebahagian besar penduduk tetap hidup dalam keadaan yang kurang memungkinkan untuk memperbaiki kondisi hidupnya.

8. Mentalitas sementara pejabat yang menyebabkan tidak efisiennya administrasi negara dan bahkan banyak memungkinkan kebocorkan-kebocoran dalam sumber pendapatan negara.

V. Kecenderungan perkembangan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun mendatang diperkirakan akan bertumbuh normal, dengan asumsi bahwa laju pertambahan penduduk 2,3%, sedangkan pertumbuhan ekonomi sekitar 7 sampai 8%. Asumsi ini hanya dapat dicapai jika penerimaan ide keluarga berencana makin meluas serta tidak sering terjadinya kegoncangan-kegoncangan politis dan ekonomis yang terlalu sering. Pertumbuhan yang demikian tidak dengan sendirinya akan membawa perubahan banyak di bidang strukturil jika tidak disertai dengan kebijaksanaan dan pengarahan tertentu. Malahan diperkirakan status quo akan semakin kuat, dalam arti kalangan berpenghasilan tinggi akan menikmati pendapatan yang tinggi, menengah dengan pendapatan menengah sedangkan yang berpenghasilan rendah akan tetap rendah pendapatannya. Malahan diperkirakan jurang perbedaan antara yang berpenghasilan tinggi dengan yang berpenghasilan rendah akan semakin melebar.

VI.a. Masalah pemerataan pendapatan nasional dalam hubungannya dengan keadilan sosial terletak dalam hal bagaimana memungkinkan mekanisme sosial yang memungkinkan perkembangan di kalangan golongan masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga kalangan ini dapat memperoleh tingkat kehidupan yang layak. Pengertian itu secara kwantitatip bisa dicoba didekati oleh 40% golongan berpenghasilan rendah. Dalam jangka pendek, minimal golongan berpenghasilan rendah dapat mengkonsumir kalori minimal setiap hari untuk dapat hidup sehat, misalnya per orang minimal memperoleh 2250 kalori setiap hari.

Keadilan sosial sebagai salah satu sila dari Pancasila sering dipermasalahkan implementasinya (pengujudannya).

Beberapa catatan :

Banyak literatur tentang pembangunan beraksioma adanya konflik antara keadilan sosial dan pembangunan. Konflik ini terjadi karena pembangunan dalam literatur diindentifiser dengan produksi atau pendapatan per capita dan tingkat pertumbuhan pembangunan. Latar belakang indentifikasi pembangunan adalah bahwa peningkatan produksi akan meningkatkan konsumsi dan tingkat investasi. Pandangan ini sekaligus berasumsi bahwa model pembangunan masyarakat seperti ini tidak mempunyai problema distribusi pendapatan dan bertitik tolak hampir tidak terdapat jurang antara kaya miskin dan suatu keadaan homogen dalam hubungan dengan kekayaan, pendidikan dan lain-lain fasilitas.

b. Perbandingan simpanan (savings ratio) golongan pendapatan tinggi lebih besar daripada golongan pendapatan rendah. Peningkatan keadilan sosial melalui distribusi pendapatan akan menurunkan simpanan rata-rata dan marginalnya.

c. Negara-negara berkembang termasuk Indonesia berusaha menarik modal melalui peraturan yang menguntungkan modal tersebut misalnya tax holidays, grace periods, agar terdapat pemasukan modal yang diperlukan untuk membangun negara dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan tingkat pertumbuhan pembangunan. Pajak progresip, landreform, nasionalisasi dan lain-lain mengakibatkan pelarian modal.

d. Tenaga kerja selalu dihubungkan dengan produktivitas marginal. Tenaga kerja yang nilai produktivitas marginalnya berada di bawah imbalan upah/gaji yang berlaku adalah seorang penganggur. Negara Indonesia mempunyai tenaga kerja yang banyak dan modal yang langka.

Orientasi pada usaha-usaha yang bersifat capital intensive/berarti : import capital goods (grant, pinjaman, penanaman modal asing dan lain-lain);

akumulasi simpanan domestik untuk ditransformir menjadi capital goods;

negara kita mempunyai angkatan tenaga kerja yang banyak dikarenakan pertambahan penduduk yang besar.

Sektor moderen kita masih sangat terbatas daya absorbsi tenaga kerja. Sebab-sebab untuk mencoba mengatasi masalah pengangguran secara serius dikarenakan :

angkatan tenaga kerja yang besar jika tidak diproduktipkan adalah tidak sesuai dengan UUD 1945;

- peningkatan kesempatan kerja akan melibatkan lebih banyak tenaga kerja dalam proses modernisasi;

- peningkatan kesempatan kerja menyebabkan mobilisasi sebahagian dari penduduk, sehingga ikut mempercepat pemantapan kesatuan negara;

« ÎnapoiContinuă »