Imagini ale paginilor
PDF
ePub

adalah berstatus WNA maka kini kebanyakan orang Cina adalah berstatus WNI, maka masalah itu harus ditinjau dan dipecahkan dari segi kepentingan nasional, dan bukan lagi menggunakan taktik "pemisahan" dan "perpecahan" sebagaimana dipraktekan oleh pemerintah kolonial dulu.

DAFTAR BACAAN

Donald Wilmott,

The National Status of the Chinese in Indonesia, 1900 1958, Ithaca, N.Y. 1961.

G. William Skinner, The Chinese Minority, in Ruth T. McVey, INDO

Leo Suryadinata,

Lie Tek Tjeng,

Purcell, Victor,

William, D.E.

Mely G. Tan,

NESIA, Hraf Press, New Haven, 1963.

Pre-War Indonesian Nationalism and the Peranakan Chinese, in: INDONESIA, Cornell Modern Indonesian Project, 1971, April.

MASALAH WNI DAN MASALAH HOAKIAU DI
INDONESIA, Lembaga Research Kebudayaan Na-
sional-LIPI, Jakarta, 1971.

The Chinese in Southeast Asia, Oxford Univ. Press,
London, 1965.

The Chinese of Semarang: A Changing Minority
Community in Indonesia, Cornell Univ. Press, Itha-
ca, N.Y. 1960.

Majority-Minority Situation Indonesia, LIPI, Jakarta, 1975 (paper).

Stephen Fitzgerold, China and the Oversea Chinese in Indonesia: A Study of Peking's Changing Policy 1940 - 1971.

HAK ATAS KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT

DEKLARASI - DEKLARASI DAN KONVENSI-KONVENSI PBB DAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA*)

Oleh

J.A.B. Jongeneel

Motto:

"Adalah hak azasi setiap orang, jika atas kehendaknya sendiri dia pindah ke agama lain".

(Presiden Soeharto di Jakarta, 25 Mei 1969).

Pada tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum Perserikatan BangsaBangsa menerima Universal Declaration of Human Rights (Pernyataan Universil Hak-Hak Manusia), yang merupakan suatu peristiwa penting dalam peradaban bangsa-bangsa.

Hak-hak manusia yang ditetapkan dalam Universal Declaration of Human Rights ini dapat dibagi dalam hak-hak manusia yang tak fundamentil (tak azasi) dan yang fundamentil (azasi). Di dalam hak-hak manusia yang fundamentil itu sudah barang tentu termasuk kebebasan berpikir, keinsyafan batin dan agama, yang ditetapkan dalam pasal 18 sebagai berikut: "Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance". (Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keinsyafan batin dan agama; hak ini meliputi pula kebebasan berganti agama atau keyakinan, dan kebebasan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain dan di muka umum maupun dalam lingkungan sendiri, untuk menyatakan dengan jelas agamanya atau keyakinannya dalam pengajaran, praktek hidup, ibadat dan pengabdian).

*) Pidato yang diucapkan pada upacara meletakkan jabatan dosen tetap pada Sekolah Tinggi Theologia di Ujung Pandang pada hari Senin 26 Juli 1976. Kepada Dr. Th. van den End, Bapak P.S. Naipospos dan terutama Ibu M. Towoliu-Hermanses S.H., yang telah membantu saya dalam menterjemahkan karangan ini, saya ucapkan banyak terimakasih.

Dalam pembahasan ini kami hanya membicarakan kebebasan beragama. Berturut-turut kami bahas 1. kebebasan beragama sampai diterimanya Universal Declaration of Human Rights dalam tahun 1948; 2. kebebasan beragama menurut Universal Declaration of Human Rights dari tahun 1948; 3. kebebasan beragama menurut badan-badan Perserikatan Bangsa-bangsa sesudah tahun 1948; dan 4. kebebasan beragama dalam Republik Indonesia.

1. Kebebasan beragama sampai diterimanya Universal Declaration of Human Rights dalam tahun 1948.

Walaupun persoalan kebebasan beragama telah timbul di gelanggang umum di Eropah Barat selama Abad-abad Pertengahan (orang-orang Albigens dan Waldens), namun hal itu barulah menjadi gawat karena Reformasi tahun 1517 dan tahun-tahun kemudian, yang menimbulkan suatu perpecahan (schisma) besar dalam masyarakat Kristen Eropah Barat, yang berlangsung terus sampai pada dewasa ini.

Kemudian sesudah tahun 1517 di Eropah Barat telah dibuat pelbagai peraturan, yang mencoba mewujudkan suatu hidup damai berdampingan antara orang-orang Roma-Katolik, orang-orang Lutheran dan orang-orang Calvinis dan pada akhirnya juga dengan aliran-aliran Kristen lainnya. Peraturan pertama yang penting ialah peraturan perdamaian agama Augsburg (1555) antara orang-orang Roma-Katolik dan orangorang Lutheran di Jerman, yang menetapkan, bahwa setiap tuan-tanah (penguasa) mempunyai hak untuk sesuai dengan azas "cuius regio, eius religio" (siapa mempunyai daerah, dia menetapkan agama) menentukan apakah di daerahnya akan dianut agama Roma-Katolik lama, atau reformasi Luther (ius reformandi), dan siapa tidak setuju dengan agama tuantanahnya, berhak meninggalkan daerah yang bersangkutan (ius emigrandi) 1).

Willem dari Oranye, pendiri negara Belanda, dalam suatu pidato, yang diberikan pada malam tahun baru tahun 1564 di Hollandse Raad van State (semacam Badan Penasehat Agung), telah melakukan suatu langkah besar ke arah kemajuan, apabila di depan umum ia menyatakan bahwa ia tidak dapat menyetujui, " bahwa raja-raja mau berkuasa atas keinsyafan batin rakyatnya dan mau merampas kebebasan beragama dari mereka” 2). Sesuai dengan tujuan inilah pasal 13 dari Unie dari Utrecht (1579), yang diadakan antara sejumlah propinsi-propinsi Nederland, menetapkan bahwa setiap propinsi di daerahnya bebas untuk mengatur agama menurut kemauannya sendiri, "asalkan setiap orang partikelir boleh tetap tinggal bebas dalam agamanya sendiri dan tidak boleh dihambat atau diperiksa oleh siapapun dalam hal agama” 3).

1) K. Heussi, Kompendium der Kirchengeschichte, Tübingen 1957, p. 312; Th. C. van Boven, De volkenrechtelijke Bescherming van de Godsdienstvrijheid, Assen 1967, p. 5, 6.

2) H.J. Mispelblom Beyer, Tolerantie en Fanatisme, Een Studie over Verdraagzaamheid, Arnhem 1968, p. 74, 75.

3) Ibid., p. 75; Th. C. van Boven, op. cit., p. 6.

Walaupun Edict dari Nantes (1598), perdamaian Westfalen (1648) dan Toleration Act (1689) masing-masing membawa perluasan kebebasan beragama di Perancis, Jerman dan Inggris, namun mereka tidak mengakui, sebagaimana dilakukan oleh Unie dari Utrecht, kebebasan beragama untuk perorangan. Sampai Revolusi Perancis (1789) azas "cuius regio, eius religio" di Eropah Barat hampir umum berlaku, sehingga banyak orang, yang mempunyai pendapat agamani yang bertentangan dengan tuan-tanah, dalam abad ketujuhbelas dan kedelapanbelas, mencoba melarikan diri dengan selamat ke negeri Belanda 4), atau memboyong ke Amerika Utara.

Pada tanggal 4 Juli 1776 dewan Perwakilan Negara-negara Amerika Serikat di Filadelfia memaklumkan kemerdekaan negara-negara Amerika Serikat. Dalam Declaration of Independence (Pernyataan Kemerdekaan) itu, yang disusun oleh Thomas Jefferson, mereka menetapkan "bahwa semua orang diciptakan sama; bahwa kepada mereka oleh Pencipta mereka dikaruniakan hak-hak tertentu yang tak dapat dipindah tangankan, yang didalamnya termasuk hak atas hidup, atas kebebasan dan atas usaha mengejar kebahagiaan" 5). Menurut anggapan mereka, setiap pemerintah di kalangan rakyat hanya didirikan untuk menjamin hak-hak ini, yang di dalamnya termasuk hak atas kebebasan beragama. Dalam Bill of Rights, yang ditambahkan kepada Undang-undang Dasar Amerika Serikat, yang mulai berlaku pada tanggal 4 Maret 1789, toleransi di bidang agama dijamin dengan tidak memberi hak kepada Kongres untuk mengeluarkan sesuatu undang-undang, yang menetapkan suatu agama atau yang melarang pelaksanaannya. Dengan demikian agama. atau keyakinan di negara-negara Amerika Serikat adalah suatu perkara, yang semata-mata adalah soal perorangan 6).

Declaration of Independence Amerika Serikat telah mempengaruhi penyusunan Déclaration des Droits de l'Homme et du Citoyen (Pernyataan Hak-hak Manusia dan Warga Negara) di Perancis, yang pada tanggal 26 Agustus 1789 telah diterima oleh Constituante Perancis dengan pasal 10-nya yang berbunyi: "Tidak ada orang yang akan diancam oleh karena pandangan-pandangannya, juga tidak oleh karena pandangan-pandangan agaminya, asalkan pengucapan pandangan-pandangan itu tidak mengganggu ketertiban umum yang berdasarkan Undang-undang" 7): Selanjutnya Déclaration ini mempengaruhi sistem-sistem hukum lainnya, bukan hanya mempengaruhi Verklaring van de Rechten van de Mens en Burger (Pernyataan hak-hak Manusia dan Warga Negara) di Nederland, yang dalam tahun 1795 di keluarkan oleh Wakil-wakil dari rakyat Holland dengan pasal yang berikut : "bahwa setiap orang mempunyai hak untuk beribadat kepada Allah dengan cara menurut kemauan.

4) K. Heussi, op. cit., p. 396; H.J. Mispelblom Beyer, op. cit., p. 75.

5) A. Maurois, Geschiedenis van de Verenigde Staten van Amerika, Amsterdam z.j., p. 108; J.S. Bartstra, Handboek tot de staatkundige Geschiedenis van de Landen van onze Beschavingskring van 1648 tot Heden, II, 's-Hertogenbosch 1960, p. 32, 33.

6) A. Maurois, op. cit., p. 157.

7) H.J. Mispelblom Beyer, op. cit., p. 72; Th.C. van Boven, op. cit., p. 13.

sendiri, tanpa dia dalam hal ini dapat dipaksa bagaimanapun juga" 8), tetapi juga mempengaruhi undang-undang dasar sejumlah negara-negara Afrika sekarang ini, yang pada zaman kolonial dikuasai oleh Perancis 9).

Revolusi Perancis tidak hanya berbicara tentang kebebasan beragama, tetapi juga tentang persamaan manusia tanpa pandang agama. Azas yang disebut azas non-diskriminasi ini, yang dalam sejumlah perkara khusus mendapat pengakuan internasional di Kongres Wina (1815), dan Konperensi London (1830), dibela juga dalam Firman Hatti Humajun, yang dikeluarkan oleh sultan Turki sebelum Kongres Paris (1856), di mana terdapat pasal-pasal yang berikut: "Pemerintah akan mengambil tindakan-tindakan tegas yang perlu untuk menjamin kebebasan sepenuhnya bagi setiap agama, berapapun juga jumlah pengikut-pengikutnya" (pasal 7). "Setiap kata dan setiap ungkapan atau ucapan, yang bertujuan untuk menempatkan golongan rakyat yang satu lebih rendah dari golongan yang lain, karena agama, bahasa atau ras, dihapuskan untuk selama-lamanya dari protokol administrasif" (pasal 8). "Karena ibadat semua keyakinan dan agama, yang terdapat dalam kerajaan saya, dilakukan dengan penuh kebebasan, tidak ada dari rakyat akan dirintangi dalam menjalankan agama yang dianutnya" (pasal 10). Maka dengan dekrit ini Turkilah negara bukan Kristen yang pertama di dunia, yang mengumumkan kebebasan beragama 10).

Pada abad yang lalu telah diadakan persetujuan antara pelbagai negara-negara Eropah dan negara-negara yang bukan Eropah (Tiongkok) untuk melindungi zending dan missi Kristen di Asia dan Afrika, yang oleh banyak pemerintah negara-negara Barat dianggap sebagai alat untuk memperoleh perluasan lingkungan pengaruh barat. Terhadap hal ini dikemukakan protes bukan saja oleh sejumlah orang Kristen yang mempunyai pandangan yang maju, tetapi juga oleh Turki, yang di konperensi Berlin (1885), yang mengatur kebebasan beragama di sebagian besar Afrika Tengah, menyerukan supaya dihentikan usaha Austria-Hongaria, Perancis, Italia dan Spanyol untuk mendapat jaminan-jaminan luas bagi missi Roma-Katolik. Turki menginginkan bagi Islam di Afrika hakhak dan kebebasan-kebebasan yang seperti bagi Kristen, dan dalam hal ini mendapat sokongan dari Inggris 11).

Apabila kita mengambil kesimpulan mengenai kebebasan agama dari masa sejak Reformasi sampai didirikannya Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) dalam tahun 1919, maka dapatlah kita tetapkan, bahwa dalam masa sejak Reformasi (1517) sampai Revolusi Perancis (1789) orang-orang telah berhasil berjuang untuk perluasan kebebasan beragama, mula-mula untuk orang-orang Lutheran dan orang-orang Calvinis dan kemudian untuk orang-orang Kristen dari denominasi-denominasi lain, sedangkan pada abad yang lalu — juga dengan hasil yang memuas

8) Novem, Wereld in Wording, III, Den Haag (1967), p. 430.

9) Th.C. van Boven, op. cit., p. 259.

10) Ibid., p. 17, 18.

11) Ibid., p. 29-33.

« ÎnapoiContinuă »