Imagini ale paginilor
PDF
ePub

Pendekatan serba kritis dengan mempertalikan segala sesuatu kepada logika perkembangan sejarah Islam sendiri, juga digunakan oleh syekh 'Abd al-Qâdir dalam menilai kebenaran sebuah pendapat lain yang sudah umum diterima. Semenjak dahulu, dunia penyelidikan ke-Islaman telah menerima diktum, bahwa mazhab Hanafi dari Iraq mewakili pemikiran rasionil karena mengutamakan pemakaian analogi (qiyâs) pemikiran hukum Islam, mazhab Maliki mewakili warisan tradisionil dari pa ra sahabat Nabi s.a.w. di Medinah, dan mazhab Syafi'i berusaha mempertemukan kedua pemikiran itu. Alasan yang dikemukakan adalah karena di Medinah, peninggalan-peninggalan berupa tradisi dari masa kehidupan Nabi s.a.w. masih terpelihara dengan baik, sedangkan permasalahan hukum yang dijumpaipun tidak banyak berbeda di masa kehidupan imam Mâlik, pendiri mazhab tersebut. Karenanya, cukup dengan menggunakan tradisi yang ada, terutama hadith-hadith yang dipelihara turun-temurun di Medinah, mazhab ini dapat memenuhi kebutuhannya akan sumber hukum. Tidak demikian halnya dengan di Iraq, yang memiliki kehidupan sosio-geografis yang jauh berbeda dengan di Medinah. Mau tidak mau, keadaan setempat memaksa para pemikir hukum di sana untuk mencari sumber hukum baru, yang tidak dapat dicari pada tradisi sangat sedikit yang sampai ke tangan mereka. Sumber hukum baru itu adalah pemakaian rasio lebih banyak daripada tradisi, dalam bentuk analogi.

Benarkah demikian? Penelitian mendalam atas pendapat di atas ternyata membuktikan sebaliknya. Pertama-tama, pengamatan dilakukan atas corpus hukum dari kedua belah pihak; kemudian dilakukan pembandingan antara keduanya, guna menjawab pertanyaan berikut: benarkah ada polarisasi antara analogi dan tradisi dalam kedua jenis corpus hukum tersebut, benarkah imam Mâlik mengutamakan pemakaian hadith dan imam Hanafi sebagai pendiri mazhab Hanafi serta murid-murid beliau lebih mementingkan prinsip-prinsip rasionil (legal reasoning)?

Hasil penelitian syekh 'Abd al-Qâdir ternyata tidak demikian. Kitâb al-Muwaṭṭa' yang merupakan bukti utama dari keputusan-keputusan hukum imam Mâlik kebanyakan bahkan menganut pemikiran rasionalistis, dan hanya sedikit sekali menggunakan hadith sebagai landasan/ sumber hukum 7). Syekh 'Abd al-Qâdir bahkan menolak anggapan kitab tersebut sebagai compendium hadith, sebagaimana diterima sebagai konsensus kaum muslimin selama ini. Bagi beliau, al-Muwaṭṭa' tidak lain adalah sebuah corpus hukum (kitâb figh) belaka.

Demikian pula, penelitian dan pengamatan atas keputusan-keputusan hukum yang dikeluarkan oleh imam Hanafi tidak membenarkan pendapat yang selama ini diterima. Beliau ternyata tidak banyak berbeda daripada imam Mâlik dalam penerimaan terhadap hadith sebagai sumber hukum. Dengan demikian, tertolaklah anggapan, bahwa mazhab Hanafi mengutamakan pendekatan rasio-analogis dan mazhab Maliki mengutamakan pemakaian tradisi (inklusif hadith) 8). Tesis syekh Abd al

7) h. 258-260.

8) h. 210 dan seterusnya.

Qâdir ini bersamaan dengan kesimpulan Schacht yang tercantum dalam kedua karya utamanya yang telah disebutkan di atas.

Demikianlah, serba sedikit telah dikemukakan beberapa hasil baru yang dicapai oleh syekh 'Abd al-Qâdir dalam penyelidikannya atas pertumbuhan hukum Islam dengan menggunakan metode kritik-historis. Sikap kritis yang menjadi ciri utama metode ini, di tangan beliau telah menjadi alat untuk menyiangi pendapat-pendapat yang telah berkembang selama ini secara ilmiyah.

Apakah konsekwensi dari pendekatan yang beliau lakukan ini? Apakah kegunaan yang dapat diambil dari metode kritik historis ini? Konsekwensi logis dari penggunaan metode ini adalah keharusan menggunakannya secara konsisten dalam penyelidikan ke-Islaman. Baik dalam menilai fakta-fakta kesejarahan biasa maupun dalam menilai kebenaran dogma agama, metode ini menghendaki obyektivitas ilmiyah "yang murni". Obyektivitas semacam ini menghendaki persyaratan pokok kejujuran untuk meninjau secara jernih dan dengan kepala dingin obyek pengamatannya dan memperlakukannya sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya.

Hal seperti ini telah diperbuat oleh A.A. Fyzee, jurist India yang terkenal, dalam karya utamanya, Outlines of Muhammedan Law 9). Dalam bukunya, A Modern Approach to Islam 10), ia membatasi pokokpokok ke-Islaman yang bersifat dogmatis pada hal-hal yang bersifat basis belaka, seperti keimanan kepada Allah dan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai utusan-Nya. Konsekwensi dari pembatasan ini adalah hilangnya kontradiksi antara obyektivitas ilmiyah dan dogma agama yang seringkali berwatak irrasionil. Tetapi untuk mencapai titik pertemuan ini ia harus membayar harga sangat mahal : penolakan hampir seluruh ajaran agama, selain yang bersifat essensiil. Hampir seluruh compendium hadith Nabi s.a.w. harus ditolak, karena tidak memenuhi syarat obyektivitas ilmiyah. Corpus yang ditolak itu harus diperlakukan sebagai produk buatan manusia belaka, bukannya sebagai kebenaran yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi s.a.w.

Latar belakang dari penolakan ini adalah berhasilnya metode di atas membuktikan subyektivitas corpus hadith. Dengan kata lain, metode kritik-historis ini, sebagaimana digunakan oleh Schacht, berhasil menyisihkan hadith-hadith Nabi s.a.w. sebagai bahan-bahan pengkajian yang tidak bersifat ilmiyah, sehingga tidak sepenuhnya dapat digunakan untuk mencapai kebenaran obyektif 11).

9) Oxford, 1949, diterjemahkan oleh Arifin Bey dengan judul Pokok-Pokok Hukum Islam, 2 jilid, Jakarta, 1963.

10) Bombay, 1961.

11) Tetapi penyelidikan lebih lanjut dengan metode yang sama, tetapi ditangan orang lain, mencapai hasil sebaliknya, sebagaimana dibuktikan oleh Azmy, loc. cit., yang secara total menghancurkan teori-teori Schacht secara meyakinkan.

Bahaya mengikuti metode ini secara konsisten dan konsekwen sudah ditunjukkan serba sedikit. Syekh 'Abd al-Qâdir menyadari bahaya itu, karenanya ia tidak menggunakannya secara menyeluruh dan hingga kepada konsekwensinya yang maksimal. Walaupun sangat terbatas ia menggunakan metode di atas, sudah cukup banyak "kebenaran-kebenaran ilmiyah" yang selama ini menjadi pendapat umum, mendapat tentangan dari buku beliau yang disebutkan di muka.

Jelaslah dari keterangan di atas, bahwa pemakaian sebuah metode dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran baru yang menyegarkan, yang tidak akan dapat diperoleh jika pengkajian persoalan hanya didasarkan atas hasil kerja serampangan, hanya dari sekedar menyaring beberapa fakta dan menarik kesimpulan dari fakta-fakta itu secara mudah. Di sinilah terasa benar perlunya diadakan pembicaraan yang konstan mengenai metodologi penyelidikan ke-Islaman. Demikianlah sekedar catatan atas sebuah metode, yaitu metode yang digunakan secara sangat terbatas oleh syekh 'Ali Hasan 'Abd al Qâdir dalam buku beliau, Pandangan Umum Atas Sejarah Fiqh Islam. Metode-metode lain tidak dibicarakan, seperti pendekatan sosio-psikologis dari Montgommery Watt 12) dan pendekatan kepada metodologi-metodologi para sarjana muslimin kuno, yang dipelopori oleh J. Horowitz 13). Metode-metode lain itu, di samping tidak berhubungan dengan karya syekh 'Abd al-Qâdir di atas, juga masing-masing membutuhkan pembicaraan tersendiri, yang tidak dapat dicakup oleh tulisan sependek ini.

Muhammad at

12) Approach Watt ini dapat dilihat dalam beberapa karyanya yang terkenal Mecca, Oxford, 1953; Muhammad at Medina, Oxford, 1956; Mohammad, Prophet and Statesman, Oxford, 1961; Islam and the Integration of Society. London, 1961; dan terakhir The Majesty That Was Baghdad, Edinburgh, 1974. 13) Pendekatan Horowitz tercermin dalam artikelnya tentang sumber-sumber kesejarahan kuno dalam penyelidikan ke-Islaman, yang diterjemahkan oleh Husain Nassar kedalam bahasa Arab dengan judul al-Magazi al Ula Wa Mu'aliijuha, Cairo, 1948. Approach ini diteruskan dalam berbagai karya yang mengamati pandangan-pandangan historiografis para sejarawan muslimin dimasa lampau, seperti An Introduction to Muslim Historiography, ed. F. Rosenthal, Leiden, 1968 dan antologi Historians of the Middle East, London, 1962.

BEBERAPA PEMIKIRAN SEKITAR STUDI MASALAH NON PRIBUMI

Oleh

Yahya Wiriadinata

PENDAHULUAN

Diakui bahwa masalah non pribumi merupakan suatu soal yang sangat sensitip dan sulit dipecahkan. Pada masa lampau masalah tersebut seringkali timbul pada suatu situasi tertentu terutama dalam suatu situasi di mana masyarakat sedang hangatnya menghadapi keteganganketegangan sosial. Oleh karena kesensitipan dan kerumitan masalah tersebut, tidak jarang terlihat adanya suatu tendensi umum untuk tidak dibicarakan secara terbuka karena dikhawatirkan akan menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang baru di satu pihak dan bila diperbincangkan juga maka seringkali tidak disertai dengan suatu dasar pengetahuan tentang masalah tersebut sehingga bisa menimbulkan tanggapan-tanggapan yang kurang objektip.

Sejak berdirinya pemerintahan Orde Baru dalam Republik ini maka barulah kita sering mendengar atau membaca pembahasan-pembahasan sekitar masalah non pribumi yang terbuka dan objektip. Perhatian dan Keprihatinan tentang masalah yang menyangkut kepentingan nasional itu nampak dalam seminar-seminar mengenai masalah non pribumi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, lembaga-lembaga, serta tanggapan-tanggapan yang dimuat dalam majalah-majalah, surat-kabar. Ada juga majalah-majalah asing yang menyampaikan essay-essay tentang masalah non pribumi di Indonesia. Kesemuanya itu menunjukkan suatu hasrat yang sungguh untuk lebih mengetahui, membahas dan berusaha mencari cara-cara penyelesaiannya yang baik.

Bagaimana reaksi atau tanggapan Gereja-gereja Indonesia mengenai masalah non pribumi? Sampai sejauh mana umat Kristen di Indonesia juga telah mencoba menggumuli salah satu masalah yang menyangkut kepentingan nasional dan hubungannya dengan keyakinannya sehingga menganggap masalahnya itu merupakan masalah kemanusiaan bersama?

Masalah non pribumi yang sudah lama sekali namun sering dirasakan "baru" - karena tetap sensitip, tetap hangat dibicarakan, tenggelam kemudian timbul kembali dan seterusnya - rupanya kini telah mencapai suatu fase baru, yaitu nampak adanya perubahan hakekat dan penekanannya dalam masalah tersebut. Perubahan-perubahan masalah itu dapat kita lihat dalam aspek kehidupan kebudayaan, orientasi politik, pengertian tentang integrasi bangsa, partisipasi WNI keturunan Cina dalam pembangunan negara dan sebagainya. Perubahan-perubahan yang mulai menyolok setelah terbentuknya kehidupan Orde Baru itu erat hubungannya dengan perubahan sosial-kulturil, iklim politik Asia dan proses pembangunan bangsa menjelang akhir tahun 1960-an.

Dalam artikel pendek ini, penulis tidak akan menguraikan perubahanperubahan hakekat dan penekanan masalah non pribumi — akan disampaikan pada kesempatan lain tetapi berusaha mengajak kita semua melihat sepintas lalu latar belakang historis daripada masalah non pribumi yang kini kita hadapi bersama. Dan sekaligus juga merangsang kita semua untuk berpikir tentang masalah tersebut secara objektip dan positip.

MASALAH NON PRIBUMI

1. Gambaran Umum tentang Keberadaan Orang Cina di Asia Tenggara Sejarah menunjukkan bahwa keberadaan orang Cina di kawasan Asia Tenggara sebenarnya sudah dimulai sekitar abad ke-3 ketika pasukan Cina mengadakan subversi dan infiltrasi militer ke daerah Tongking dan Annam (kini disebut Vietnam). Dalam penyerbuan itu maka dikerahkan sejumlah besar warganegara Cina ke daerah tersebut (mulai saat inilah kita baru mengetahui adanya istilah 'Imigran' dalam sejarah kuno Cina). Aktivitas subversi dan infiltrasi Cina ke daerah-daerah sekitar perbatasannya kemudian lebih ditingkatkan abad-abad berikutnya (618906) dengan mengerahkan lebih banyak warganegaranya masuk ke wilayah Indo-Cina. Akibat daripada keberadaan mereka di sana maka terjadilah integrasi dan asimilasi dengan pribumi setempat di mana mereka berada. Namun demikian sebagian besar dari imigran Cina itu telah memegang teguh kebudayaan dan tradisi yang berasal dari nenekmoyang mereka. Cara hidup dan corak berpikir menurut kehidupan Orang Cina di negeri leluhurnya. Mereka hidup di tengah-tengah masyarakat pribumi, di kota-kota besar dan di kampung-kampung bahkan di daerah pedalaman di mana penduduknya hampir tidak ada. Mereka bersatu dalam usaha dan membentuk suatu masyarakat Cina yang kokoh.

Dengan bertambah besarnya pengaruh Cina terhadap negara-negara tetangganya maka bertambah besar pula jumlah imigran Cina yang merembes ke wilayah Asia Tenggara. Pada saat ini hubungan darat dan laut antar Cina dan negara-negara tetangga sudah terbuka, terutama hubungannya dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Hubungan-hubungan darat dan laut tersebut mendatangkan keuntungan bagi perdagangan antar Cina dan kepulauan Indonesia, dan sekaligus menarik lebih banyak Orang Cina ke kepulauan Indonesia dan Malaysia.

« ÎnapoiContinuă »