Imagini ale paginilor
PDF
ePub

beberapa yang mesti diragukan secara praktis. Pertama, hampir sulit diharapkan kerelaan untuk bersatu, tanpa adanya dorongan dari luar. Kita membutuhkan kesatuan, tetapi sebenarnya kita tak pernah menginginkannya. Kedua, tanpa adanya sebuah strategi dan koordinasi yang menyeluruh, maka eksperimentasi berdasarkan situasi dan kondisi masing-masing wilayah, pada akhirnya bukan menimbulkan keesaan, tetapi justru kekisruhan dan kebalauan.

Menurut penilaian saya, DGI tak dapat dilepaskan dari proses keesaan. Dan justru karena itu, maka DGI tak boleh terlalu kuat, tetapi sekaligus tidak boleh pula terlalu lemah. Terlalu kuatnya DGI, akan memperlemah prakarsa, kesungguhan, dan kemauan gereja-gereja di dalam keterlibatan mereka dalam proses keesaan. Atau gereja-gereja itu akan mempunyai sikap ketergantungan yang berlebihan; atau gereja-gereja itu akan semakin menjadi acuh-tak-acuh, ibarat pelari yang sudah amat ketinggalan jauh dari rivalnya, akibat jurang yang terlalu lebar. Pada pihak lain, apabila DGI terlampau lemah, maka faktor koordinatip dan direktip yang amat dibutuhkan dalam strategi keesaan yang menyeluruh akan tidak dapat berfungsi. Perbedaan taraf kesadaraan, kekuatan, dan kemampuan antara gereja-gereja di Indonesia, tak akan pernah terjembatani, bahkan sebaliknya akan mempunyai kecenderungan semakin melebar. Dan semuanya itu menghalangi proses keesaan.

Sampailah kita kepada pilihan. Pilihan yang akan saya kemukakan berikut ini, tentulah bukan satu-satunya. Mungkin pula akan banyak melahirkan sanggahan-sanggahan daripada persetujuan. Lebih banyak akan menghasilkan pertanyaan-pertanyaan daripada jawaban. Tetapi menurut keyakinan saya, adalah lebih baik menentukan pilihan yang salah, daripada tidak samasekali. Adalah lebih baik menghasilkan banyak pertanyaan, daripada mendiamkan persoalan.

1. Katalisator Fungsi dan peranan DGI di dalam proses keesaan, bukanlah identik dengan sasaran keesaan itu sendiri, bukan juga berada di luar proses keesaan itu. DGI bukanlah gereja atau gereja-gereja. Tetapi ia dapat memainkan peranan yang penting dan menentukan sebagai katalisator atau faktor perangsang/pendorong bagi gereja-gereja di dalam proses keesaan. Fungsi katalitik ini dapat dijalankan dalam bentuk pembuka gagasan, pembina dan pengarah kesadaran, penjalin hubungan. Pendek kata, DGI mempunyai fungsi katalitik, koordinatip, direktip, dan strategik.

2. Desentralisasi Ketika didirikan, DGI adalah forum bersama gereja-gereja di Indonesia. Ini berarti, bahwa DGI adalah lembaga milik gereja-gereja Indonesia.

DGI tidak boleh berkembang menjadi lembaga sendiri, di luar atau disamping, apalagi di atas gereja-gereja di Indonesia. DGI harus tetap berada di dalam gereja-gereja. Dan gereja-gereja di dalam DGI.

Apakah artinya itu? Secara praktis, saya bayangkan demikian : 2.1. DGI tidak dapat mengambil keputusan sendiri, keputusannya harus merupakan paling sedikit mencerminkan keputusan bersama gereja-gereja. Oleh karena itu gagasan tentang kantor bersama gereja-gereja di Indonesia, sudah selayaknya mendapat penggumulan lebih lanjut. Sehingga bukan saja komunikasi, tetapi gereja-gereja setiap saat secara bersama diajak bergumul bersama dalam mengambil keputusan bersama. 2.2. DGI sebanyak mungkin tidak boleh mempunyai kegiatan, proyek, maupun milik sendiri. Kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek sedapat mungkin merupakan kegiatan dan proyek bersama gereja-gereja. DGI di dalam hal ini dapat menjalankan fungsi pendorong, penghubung dan pembantu. Dengan begitu, maka milik dan buah/hasil dari kegiatan itu dinikmati langsung oleh gereja-gereja, dan DGI berusaha agar hasil itu juga dinikmati oleh semua gereja-gereja di Indonesia.

Penentuan dan penempatan proyek/kegiatan ditentukan bersama berdasarkan strategi menyeluruh.

Dengan begitu, maka dapat dirumuskan sentralisasi dalam strategi, dan desentralisasi dalam pelaksanaan strategi. Melalui ini dapat diharapkan keterlibatan langsung timbal-balik antara DGI dan gereja-gereja anggota. DGI hanya dapat melaksanakan missi sebaik-baiknya melalui gereja-gereja, dan gereja-gereja hanya dapat melaksanakan missi sebaik-baiknya bersama-sama dan di dalam DGI.

Proses keesaan melalui pengalaman, rasanya akan jauh lebih intens dan berbuah, daripada melalui konperensi atau birokrasi organisasi.

CATATAN ATAS SEBUAH METODE

Oleh

Abdurrahman Wahid

Metode yang dimaksudkan oleh judul di atas adalah metode yang digunakan dalam penulisan buku "Pandangan Umum Atas Sejarah Fiqh Islam" (Nazrah 'âmmah Fî Ta'rîkh al-Fiqh al-Islâmî), karya syekh 'Ali Hasan Abd al-Qâdir 1). Sebagai seorang sarjana dan ulama yang terkemuka, beliau memiliki persyaratan yang cukup meyakinkan, bila ditinjau dari pandangan ilmiyah, karena termasuk rombongan fellows alAzhar yang mula pertama memperoleh gelar doktor di universitas-universitas Eropah, kemudian menjadi direktur Islamic Centre di Washington, D.C., dekan Fakultas Hukum Islam pada Universitas al-Azhar di Cairo, dan anggauta Badan Ulama Terkemuka (hayyi'a kibâr al-'ulamâ) al-Azhar.

Mengapakah dirasa perlu di sini untuk mengupas serba sedikit metode yang digunakan dalam penulisan karya 'Ali Hasan 'Abd al-Qâdir diatas? Jawabannya dapat ditemukan dalam dua sebab berikut : 1. memang telah lama terasa kurangnya pembicaraan mengenai metodemetode yang tepat bagi penyelidikan ke-Islaman (Islamic studies) di negeri kita. Sebagai akibat dari kurangnya pembicaraan yang bersifat metodologis itu, karya-karya "ilmiyah" yang dihasilkan selama ini masih memiliki kwalitas rendah, bahkan kebanyakan digarap secara serampangan dan asal tulis belaka. Baik dari sistematika menulis (termasuk metode transliterasi huruf Arab kedalam alfabet Latin untuk menuliskan nama dan terminologi berbahasa Arab) hingga kepada pembuatan evaluasi dan kesimpulan data-data ilmiyah yang terkumpul, seluruhnya menunjukkan keadaan yang menyedihkan di kalangan penyelidikan ke-Islaman di tanah air kita. Gejala paling menyolok adalah banyaknya kutipan pendapat penulis-penulis asing untuk memperkuat suatu dalih, dengan sama sekali mengabaikan keseluruhan jiwa dari karya yang dikutip, yang terkadang bertentangan dengan kesimpulan umum yang dikemukakan oleh penulis sesuatu "karya ilmi

1) Cairo, 1941; cetakan kedua tahun 1956, ketiga tahun 1965.

yah" di sini. Gejala ini, yang bersumber pada rasa rendah diri, sebenarnya sangat berbahaya jika dibiarkan menguasai dunia penyelidikan ke-Islaman. Sikap hidup untuk tidak mengandalkan diri kepada analisa mendalam yang dibuat sendiri, melainkan bergantung kepada ucapan orang-orang luar belaka, adalah sebuah sikap hidup negatif yang hanya akan menghasilkan sarjana-sarjana apologetis belaka. Akibat lain dari berkurangnya pengetahuan kita mengenai metodologi penyelidikan ke-Islaman, adalah kurang konsistennya pemakaian metode dalam penyelidikan itu sendiri. Sangat sedikit karya ilmiyah memiliki metode konsisten, sehingga sukar pulalah diterima kebenaran ilmiyah dibawakan oleh penyelidikan yang sering dilakukan selama ini;

2. metode yang digunakan penulis karya yang menjadi sorotan tulisan ini, kalau secara prinsipiil dapat diterima oleh para sarjana muslimin, akan membuka lembaran baru dalam dunia penyelidikan ke-Islaman di negeri ini.

Ignaz Goldziher, orientalist Hongaria yang terkenal itu, merintis sebuah pendekatan ilmiyah yang baru dalam penyelidikan ke-Islaman. Pendekatan baru itu, yang dikemukakannya dalam sederetan karya-karyanya menjelang penutup abad yang lalu, akhirnya berkesudahan pada munculnya metode "kritik historis" yang dikemukakan oleh C. Snouck Hurgronye setelah Perang Dunia pertama.

Metode tersebut berpangkal pada pendekatan obyektif dalam menilai bahan-bahan kesejarahan yang begitu banyak berserakan dalam literatur Islam kuno. Setiap pemberitaan dari bahan-bahan tersebut, baikpun ia berupa sebuah hadith yang berisikan dogma keagamaan maupun legende yang tidak memiliki pretensi ilmiyah sama sekali, di-test dengan ukuran-ukuran tertentu. Pengukuran dilakukan dengan penyesuaiannya kepada tahap-tahap perkembangan Islam sendiri. Hadith mengenai Dajjâl (tokoh anti-Kristus dalam literatur Islam) umpamanya, harus ditinjau sebagai berikut: logiskah jika di masa kehidupan Nabi s.a.w. sudah dikenal konsep tentang dajjâl itu sendiri? Secara filologis dan etimologis, mungkinkah telah timbul istilah tersebut di semenanjung Arabia masa itu? Kalau hasil pengukuran bersifat negatif, di masa apakah dan di mana kemungkinan besar konsep mengenai dajjâl itu timbul? Kalau sudah dapat diketemukan perkiraan masa dan tempat timbulnya konsep tentang dajjâl itu, dapatkah dipertahankan kebenaran tentang hadith yang menyebut-nyebutnya itu dari sudut pandangan ilmiyah?

Metode ini dilanjutkan oleh Bergstraesser, dan kemudian oleh Joseph Schacht. Dengan menggunakan metode ini, Schacht telah berhasil membuat rekonstruksi sejarah pertumbuhan hukum Islam (ta'rîkh altašri) yang dikemukakannya dalam dua karya utamanya, Origins of Muhammadan Jurisprudence 2) dan Introduction to Islamic Law 3). Penda

2) Oxford, 1950.

3) Oxford, 1964,

pat-pendapatnya yang dibentuk oleh penggunaan metode kritik historis ini, dapat disiangi pula dalam sekian banyak artikel yang ditulisnya, termasuk artikelnya dalam edisi baru dari The Encyclopaedia of Islam 4). Metode ini bahkan boleh dikata berkulminasi pada karya-karya Schacht tersebut, karena semenjak tahun 1966 sebuah dissertasi 5) yang diajukan pada Universitas Cambridge di Inggeris telah membawa penyelidikan ke-Islaman kepada sebuah jalan baru yang menghasilkan sebuah metode baru pula.

Syekh 'Abd al-Qâdir telah menggunakan metode kritik historis ini dalam karya beliau yang disebutkan pada permulaan tulisan ini, jauh sebelum terbitnya karya-karya Schacht. Walaupun beliau tidak konsisten dalam menggunakan metode ini dari awal karya beliau itu hingga ke akhirnya, dapat kita temui kesimpulan-kesimpulan yang menarik yang dihasilkan oleh metode tersebut, yang terkadang ada persamaannya dengan kesimpulan yang dicapai oleh Schacht.

Syekh 'Abd al-Qâdir memulai penyelidikannya dengan membuka mata terhadap kenyataan, bahwa tidak seluruh kesimpulan yang dicapai oleh para sarjana muslimin sendiri di masa lampau dapat diterima secara ilmiyah. Kesimpulan-kesimpulan mereka, yang umumnya telah menjadi pendapat umum kaum muslimin di seluruh dunia, harus diteliti kembali, untuk mengetahui dapat tidaknya dipertanggung jawabkan secara ilmiyah.

Sebagai sebuah contoh, adalah kewajiban bersembahyang (salât). Menurut pendapat yang umum diterima, ibadat ini diwajibkan lima kali dalam sehari semenjak masa Nabi Muhammad s.a.w. masih berada di Mekkah, belum melakukan hijrah ke Medinah. Dasar dari pendapat ini adalah hadith yang menceritakan peristiwa Isrâ Mi'râj, yang menceritakan bagaimana beliau menerima perintah Allah mengenai kewajiban bersembahyang lima kali sehari bagi kaum muslimin. Bagi syekh Abd al-Qâdir, pendapat umum ini tidak dapat dibenarkan secara ilmiyah. Beliau lebih memegangi anggapan, bahwa pada mulanya kewajiban ṣalât itu adalah dua kali sehari, yaitu di waktu pagi dan sore, karena ayat-ayat al-Qur'ân yang berhubungan dengan persoalan tersebut memang hanya menentukan eksplisit dua kali sehari itu. Syekh 'Abd al-Qâdir dengan demikian telah mengenyampingkan pemakaian sebuah hadith, betapa kuatnya sekalipun, bila berhadapan dengan pembuktian dari al-Qur'an. Pendapat seperti ini sedikit banyak dipengaruhi oleh penggunaan metode seperti kritik historis 6).

4) Ensiklopaedi ini mula pertama dirampungkan dalam 4 jilid pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia Kedua. Direvisi semenjak tahun 1960; penerbitan baru ini dikerjakan dalam dua edisi Inggeris dan Perancis.

5) Studies in Early Hadith Literature. tesis dari M.M. Azmi, terbit di Beirut tahun 1968. 6) H. 16, cf. pendapat Houtsma yang dikupas dalam artikel Salat dalam Shorter Encyclopae. dia of Islam, eds. H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Leiden, photomechanical reprint, 1974, h. 491.

« ÎnapoiContinuă »