Imagini ale paginilor
PDF
ePub

SOAL STRATEGI KEESAAN

Oleh

Eka Darmaputra

Keesaan itu apa?

Kapan Indonesia merdeka ? Hampir semua orang akan mengatakan 17 Agustus 1945. Sebab pada hari itulah, kita mencanangkan kemerdekaan kita kepada dunia. Namun ada yang menghubungkan kemerdekaan itu dengan kedaulatan politik ke dalam dan ke luar. Bila begitu, maka secara praktis, Indonesia merdeka setelah KMB, setelah pengakuan kedaulatan, atau bahkan setelah Indonesia diterima menjadi anggota PBB.

Tidak hanya itu, saudara. Cukup banyak orang tidak mau menggantungkan diri pada legalitas. Kemerdekaan itu, kata mereka, adalah soal jiwa, soal roh, soal semangat. Pada saat kita merasa merdeka, pada saat itulah kita merdeka. Kalau demikian, maka sebelum 17 Agustus 1945, secara eksistensiil kita sudah merdeka.

Pada pihak lain, ada yang mengukur kemerdekaan itu dengan terwujudnya cita-cita kemerdekaan. Sekalipun terasa sedikit skeptis, tetapi dengan serius, ada orang-orang yang berkata : Tidak ada artinya, secara resmi kita merdeka; bila dalam kenyataannya keadaan kita belum lebih baik dari pada waktu jaman kolonial. Bagi mereka, sampai sekarangpun, kita ini sebenarnya belum benar-benar merdeka.

Masing-masing pendapat itu, pada hemat saya, tidak salah. Tapi juga tidak cukup. Kemerdekaan bukanlah salah satu dari itu. Kemerdekaan adalah semuanya itu. Kemerdekaan membutuhkan legalitas. Kemerdekaan membutuhkan kesadaran dan perasaan merdeka. Kemerdekaan membutuhkan tindak-lanjut perwujudan citacita kemerdekaan.

Sekianlah mengenai kemerdekaan. Kini kita beralih kepada ke

esaan.

Kita ini sudah esa atau belum? Dalam Sidang Raya DGI di Salatiga beberapa bulan yang lalu, ada yang mengatakan dengan yakin "Kita sudah esa! Dalam Yesus Kristus! Ini adalah dasar keesaan yang paling sempurna. Karena itu, apa lagi yang mesti kita ributkan ?!". Tetapi, ada yang lain yang segera bangkit berdiri, dan dengan tak kurang semangat hampir berteriak: "Tidak benar bahwa kita sudah esa! Mana buktinya ?! Setelah delapan kali bersidang-raya, kita malah semakin jauh dari keesaan !"

Mana yang betul? Saudara, bukan itu dan bukan di situ letak soalnya. Siapa bisa mengatakan kita sudah esa? Dan siapa bisa mengatakan bahwa kita belum esa?

Persoalannya adalah, keesaan itu apa? Apa yang kita maksudkan dengan perkataan itu?

Di Salatiga, persoalan inipun disadari. Maka lahirlah dua istilah baru keesaan yang "fungsionil" dan keesaan yang "strukturil". Ada yang mengatakan: "Yang kita cita-citakan itu bukanlah esa secara strukturil! Tetapi satu dalam melaksanakan missi, dalam bersaksi dan melayani !" Begitu yakinnya, sampai mereka menjadi sedikit "alergis" terhadap semua yang berbau struktur.

Tetapi terhadap keyakinan itu, ada yang dengan kesal menjawab "Sebenarnya lahirnya istilah keesaan fungsionil itu, adalah sekedar pembenaran diri (rasionalisasi) terhadap kegagalan dan keengganan kita untuk mewujudkan keesaan strukturil! Sebab, dapatkah kita pikirkan keesaan tanpa struktur ?"

Saudara, tidakkah saatnya sekarang kita kembali kepada jalan pemikiran yang sederhana ? Bahwa "esa" itu tidak lain artinya dari pada "satu"? Bahwa, ketika Tuhan Yesus berdoa : "Supaya mereka menjadi satu ....", maka Ia tak mempersoalkan apakah itu fungsionil atau strukturil?

Yang saya maksudkan adalah, tentu saja keesaan itu "sudah ada" di dalam Dia. Tetapi justru karena keesaan itu sudah ada, maka bertitik-tolak dari itu, kita tak punya pilihan lain kecuali hidup di dalam keesaan itu, dan berjuang terus untuk mewujudkannya. Tentu saja bahwa keesaan itu bukanlah untuk keesaan. Kesaan itu adalah alat untuk kita melaksanakan missi yang Allah pasrahkan kepada kita melayani dan bersaksi. Itulah mengapa kita mesti esa. Itulah jiwa, darah, dan daging dari keesaan kita.

Tetapi, bukankah keesaan itu juga adalah bukti dari ketaatan kita kepada Tuhan dan kepada missinya? Bukankah jiwa, darah, dan daging, selalu memerlukan kerangka dan tubuh, untuk menjadi sempurna dan utuh? Dan dengan begitu, kita sebenarnya tak pernah dapat menghindarkan diri dari persoalan struktur ?

Yang saya maksudkan adalah, bahwa keesaan itu adalah semuanya itu. Penjiwaan yang penuh, bahwa Kristus sudah mempersatukan kita; perjuangan yang tulus dan sungguh-sungguh untuk hidup di dalam dan bertitik-tolak dari keesaan itu; kesadaran yang sungguh, bahwa keesaan itu mutlak agar kita dapat melaksanakan missi kita dengan penuh ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan; dan karena itu keterbukaan untuk memikirkan struktur yang tepat sebagai kerangka dan penopang keesaan missioner kita.

Memang kemudian dapat dipersoalkan, mana yang mesti lebih dulu wadah atau isi; jiwa atau tubuh; missi atau struktur?

Barangkali ada baiknya di sini kita be-lajar dari kesaksian a lkitab (sekali lagi dengan pendekatan yang amat sederhana !). Yaitu, ketika Allah menciptakan manusia. (Kejadian 1 dan 2). Dapat kita bayangkan demikian :

pertama-tama, Allah sudah mempunyai gambaran dan pola yang pasti, tentang apa dan siapa manusia yang akan diciptakanNya. "Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita .. . . . . " (1:26)

kedua, Allah sudah mempunyai gambaran yang pasti untuk maksud dan tujuan apa, manusia itu diciptakannya. "Supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." (126)

ketiga, Allah atas dasar semua itu, membuat bentuk." ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah ...... " (2:7)

keempat, Allah memberi hidup.

..... dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi mahluk yang hidup (27). Karena nafas-hidup itulah, maka debu itu, menjadi darah, daging, kerangka, dan jiwa.

kelima, Allah menjelaskan missi manusia. "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (1:28)

Apakah hubungan antara penciptaan dan keesaan di sini? Tidak ada hubungan langsung. Tetapi kisah itu dapat memberikan petunjuk yang berguna. Tidak cukup hanya berbicara tentang apa itu keesaan. Tidak cukup hanya berbicara tentang untuk apa keesaan itu. Tidak cukup hanya berbicara tentang missi dan program keesaan. Kita juga harus sampai pada bagaimana bentuk keesaan, untuk mendukung semua itu.

Tanpa sampai ke situ, benarkah bahwa yang kita cita-citakan adalah sebuah keesaan tanpa bentuk? Dan itu berarti membiarkan keesaan itu tetap sekedar merupakan ide dan abstraksi semata-mata?

Sekali lagi bentuk memang bukan satu-satunya, juga bukan semua-muanya. Tetapi tanpa bentuk, apa artinya, apa buktinya, semua yang kita pikirkan itu?

II. DGI dan Proses Keesaan

Wujud adalah hasil suatu proses. Entah pendek, entah panjang. Keesaan pun adalah proses. Bahkan proses yang tak kunjung selesai di tangan manusia.

Keesaan kristen itu dimulai dengan Kristus. Ia yang telah mempersatukan ummatnya. Tetapi keesaan itu juga akan berakhir dengan Kristus. Ia yang akan menggenapkan dengan sempurna kesatuan yang telah dikerjakanNya itu. Dan oleh karena itu, kita dapat mengatakan, bahwa sekarang ini Kristus juga sedang terus-menerus mengerjakan keesaan itu. Keesaan adalah sebuah proses yang telah ada, sedang dikerjakan, dan akan digenapi oleh Kristus.

Itu tidak berarti, bahwa tak perlu lagi peranan manusia. Manusia dipanggil untuk menjadi rekan sekerja Allah, juga dalam proses keesaan itu.

Peranan manusia harus dilihat di dalam terang itu. Peranan manusia diberi tempat yang menentukan di dalam rangka ketaatan dan kesetiaannya kepada proses yang telah, sedang, dan akan dige napi oleh Kristus itu. Proses itu pula yang sekaligus menilai dan menghakimi ketaatan dan kesetiaan manusia.

Menempatkan peranan manusia di dalam rangka ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan, harus membuat manusia penuh dengan kerendahan hati terlibat dalam proses keesaan. Keesaan tidak diukur dari keberhasilan manusia memenuhi target tertentu. Sekaligus, ketaatan dan kesetiaan itu juga memberikan kepada manusia kesabaran, ketabahan, ketekunan, dan keuletan didalam proses keesaan. Ia memberikannya semangat untuk tekun berusaha tanpa mengenal putus asa maupun puas diri.

Proses keesaan adalah proses yang tak akan pernah selesai di tangan manusia. Itu sebabnya proses keesaan itu harus merupakan suatu proses yang penuh keterbukaan dan dinamika. Bilapun kita berbicara mengenai bentuk, maka bentuk itu haruslah sekedar merupakan kerangka yang sedemikian luwesnya untuk tidak menghalangi keterbukaan dan dinamika yang mutlak dibutuhkan itu. Namun demikian toh bentuk yang semacam itu kita perlukan. Sebab betapapun terbukanya dan dinamisnya proses keesaan itu, ia mempunyai sebuah arah dan sasaran yang pasti keesaan yang penuh dan sempurna di dalam Kristus.

Oleh sebab itulah, maka menurut hemat saya, persoalan pokok dalam proses keesaan ini, bukan cuma masalah penyadaran teologis. Ia memberikan kepada kita motifasi, tetapi bukan keesaan. Persoalan pokok dalam proses keesaan, bukan juga program-program dan proyek-proyek. Ia memberikan kepada kita kesibukankesibukan, tetapi bukan keesaan.

Pada pandangan saya, persoalan pokok dalam proses keesaan itu adalah strategi keesaan. Artinya, bagaimana secara konkrit kita menterjemahkan motifasi dan sasaran keesaan yang kita yakini, melalui seluruh sikap dan arah serta warna kegiatan kita di dalam pekerjaan oikoumenis.

Saya tidak hendak mengatakan, bahwa selama ini kita tidak mempunyai strategi. Tetapi rasanya sudah amat mendesak kita secara sadar dan jelas merumuskan apa yang menjadi strategi kita itu, dan dengan begitu sekaligus menilai kembali strategi yang sadar atau tidak sadar telah menjiwai kegiatan-kegiatan oikoumenis kita selama ini.

Saya mencoba untuk mengungkapkan dua ekstrim yang betapapun paling sedikit nampak menggejala.

Pertama, adalah usaha/keinginan bahwa pada satu saat, DGI akan menjadi bentuk dari Gereja Kristen yang Esa di Indonesia. Bertolak dari sasaran ini, maka strategi yang ditempuh adalah menjadikan DGI sekuat, sebesar, seluas, sewibawa mungkin. Ini pasti bukan strategi yang tidak masuk akal. Pemerintah yang kuat, berwibawa, (apalagi baik hati) dengan sendirinya membuat rakyat tak akan mempunyai pilihan lain, kecuali bersatu mencari pengayoman dan perlindungan di bawahnya.

Pertanyaannya adalah, inikah yang kita inginkan ? Strategi itukah yang akan kita pilih? Dengan tanpa perlu berpanjang-lebar, maka menurut hemat saya, yang kita cita-citakan bukanlah sebuah payung kesatuan raksasa untuk menutupi ketidaksatuan. Bukan saja bahwa kita akan memboroskan banyak tenaga dan dana secara siasia untuk sampai bisa mengusahakan DGI menjadi lembaga seperti itu; tetapi juga terutama, karena keesaan bukanlah untuk keesaan. Ia bukanlah tujuan.

Kedua, adalah usaha/keinginan bahwa pada satu saat sebagian besar Gereja-Gereja di Indonesia, akan sampai pada batas kesadaran dan kemau an untuk mempersatukan diri. Bertolak dari sasaran ini, maka yang terpenting dalam strategi keesaan adalah penyadaran ke dalam serta pendekatan antar gereja mula-mula di satu wilayah, dan yang akan menghasilkan sebanyak mungkin bentuk eksperimentasi keesaan yang sesuai dengan taraf kesadaran serta situasi dan kondisi di masing-masing wilayah. Di sini, DGI bukan tidak diacuhkan, tetapi ia adalah lembaga lain, yang tak punya kaitan langsung dengan strategi ini.

Strategi seperti ini, secara teoritis sangat memikat. Sebab apalagi yang lebih berbobot daripada kesatuan yang lahir oleh kesadaran dan kemauan dari "bawah"?

Tetapi sekali lagi : inikah strategi yang tepat? Dengan tidak mengatakan bahwa strategi ini salah secara prinsipiil, tetapi toh ada.

« ÎnapoiContinuă »