Imagini ale paginilor
PDF
ePub

Sejak tahun 1959 Maluku diturunkan statusnya menjadi Kabupaten.

Sejak tahun 1953 rakyat Maluku Utara berjuang untuk mengembalikan status daerahnya menjadi propinsi (Dati I), tetapi sampai sekarang tanpa hasil. Alasannya ialah bahwa mereka pernah berstatus propinsi, dan hubungan dengan Ambon, ibukota propinsi, sulit.

Pada masa Zending Belanda mulai bekerja di Halmahera, kebanyakan orang masih mengembara di hutan-hutan. Belum dikenal pertanian yang teratur. Suatu akibat dari penerimaan agama Kristen di Halmahera ialah bahwa orang-orang belajar menetap di kampung-kampung.

14. Kebijaksanaan Pimpinan Gereja terhadap pola-pola kemasyarakatan dan kebudayaan asli

Dari permulaan, Hueting memperhitungkan corak masyarakat dalam cara mengkabarkan Injil. Pendapatnya ialah bahwa pada suatu bangsa yang hidup dan berpikir secara animiskomunal, tidak dapat diharapkan bahwa seorang pribadi atau satu kampung akan menerima Injil. Yang dapat diharapkan ialah bahwa suatu kompleks kampung-kampung atau keluarga-keluarga akan menerima Injil. Karena itu ia merencanakan untuk sekaligus mengerjakan seluruh distrik Tobelo.

Lain halnya dengan pekabaran Injil di Galela (lihat hal. 5). Karena pada permulaan kelompok-kelompok orang menjadi Kristen, tidak satu kampung seluruhnya, maka akibat-akibat sosial dan keperluan-keperluan praktis memaksa Van Dijken untuk mengumpulkan orang Kristen dalam satu kampung baru.

Memang pada umumnya akibat dari kekristenan ialah bahwa orang lebih hidup berkampung dan tidak mengembara seperti dahulu. Hal ini berhubung dengan didirikannya sekolahsekolah, diadakan pendidikan agama dan kebaktian pada hari Minggu.

Dalam hal pemberian nama kepada orang Kristen baru, Van Dijken memakai nama Galela yang dirobah sedikit, sebagai nama keluarga. Sebagai nama kecil diambil nama-nama dari Alkitab.

Hueting tidak merobah nama, kecuali jika ada nama yang mempunyai arti kafir atau arti yang memalukan. Sebagai nama keluarga diambil nama nenek moyang yang tertua yang masih diketahui namanya. Tetapi lama kelamaan orang Kristen baru lebih suka memakai nama-nama Belanda.

Orang Tobelo dahulu rambutnya panjang dan dikonde lalu diikat dengan kain. Di Ternate dan di Duma, kalau orang laki-laki menjadi Kristen, rambutnya dipotong. Tetapi Hueting

berpendapat bahwa lebih baik untuk sebanyak mungkin membiarkan saja kebiasaan-kebiasaan rakyat. Jadi orang Kristen tidak perlu memotong rambutnya. Tetapi tiba-tiba semua orang laki-laki dari kampung Kupa-kupa- seluruh penduduknya sudah menjadi Kristen — kelihatan dengan rambut yang sudah dipotong. Mereka merasa bahwa ini lebih "Kristen" dan sekarang rambut pendek menjadi tanda orang Kristen, walaupun Hueting tidak menyetujuinya. Jika ada seorang pemuda yang tidak mau menggunting rambutnya, dianggap bahwa ia masih mau mengikuti pesta-pesta kafir, atau bahwa ia merasa malu terhadap orang kafir karena kepercayaannya.

Tiap kampung mempunyai sekurang-kurangnya dua gedung kebaktian, rumah-rumah tinggi yang di Jailolo disebut Kaseba, di Galela Sari dan di Tobelo Salu. Di situlah ditaruhkan berhala-berhala. Di saat-saat tertentu mereka mengadakan pesta (makan minum) dan pada malam hari diadakan taritarian asli oleh muda/mudi yang disebut toku dan wela, untuk menghormati dewa mereka. Di Jailolo tarian ini disebut waleng dan diadakan tiap tahun sesudah pemetikan padi, selama tujuh malam, diiringi oleh tifa. Jika pengikutnya banyak, pesta ini dapat berlangsung sampai sembilan malam. Kampungkampung yang belum mengadakan pemetikan padi, menonton sekitar Kaseba itu semalam suntuk. Di sinilah terjadi halhal yang tidak baik di bidang seks. Karena itu maka di daerah Jailolo, sesudah orang menjadi Kristen, Kaseba-kaseba harus dibakar.

Sesudah gereja berdiri sendiri, pada tiap sidang Sinode diadakan pembahasan tentang segi-segi kebudayaan asli yang mau dihilangkan karena dianggap tidak sesuai dengan Injil dan Gereja.

D. Masa Jepang (1941 - 1944)

Sikap anggota-anggota Gereja terhadap pimpinan dari luar.

Sikap ini menjadi nyata waktu zendeling-zendeling Belanda diinternir pada masa penjajahan Jepang. "Pemimpin-pemimpin dari luar yang bukan bangsa Belanda" *) berpendapat bahwa baiklah Gereja di Halmahera digabungkan dengan klasis Ternate dari Gereja Protestan Maluku, karena Gereja di Halmahera belum mempunyai seorang Pendeta sendiri. Pada waktu itu seorang Pendeta GPM dari klasis Ternate, Ds. Kriekhof alm., tamatan angkatan pertama dari STT di Jakarta, mengadakan perjalanan keliling di Halmahera untuk melayani tanda-tanda ezrar. Tetapi anggota gereja di Halmahera tidak mau digabungkan dengan GPM, lalu mereka membentuk Gereja Protestan Halmahera (GPH), namanya ditiru dari GPM. Alasan *) Kutipan dari laporan R. Sumtaky BA (lampiran). Yang dimaksudkan ialah pemimpin-pemimpin GPM.

untuk membuat ini ialah kepercayaan "bahwa Belanda pasti menang dan Pendeta-pendeta Belanda akan kembali lagi untuk memimpin Gereja seperti dahulu" (kutipan dari laporan tentang latarbelakang historis GMIH yang dibuat oleh R. Sumtaky BA).

Walaupun begitu, waktu Ds. Both kembali dari tahanan Jepang, ia marah setelah mendengar bahwa sudah didirikan GPH. Katanya: "Kamu mau membuang U.Z.V."! (Utrechtsche Zendings Vereeniging). Penjelasan yang diberikan kepadanya oleh D. Djumaty ialah: "Selama penjajahan Jepang nama Belanda dibenci. Karena itu, untuk menyelamatkan pekerjaan Tuhan, kami dirikan GPH itu" (lihat riwayat hidup Ds. Djumaty; lampiran).

Keterangan yang didapat dari Ds. Ray-ray ialah bahwa dorongan untuk mendirikan GPH yakni ketakutan bahwa GPM mau mencaplok mereka. Ketakutan ini disebabkan oleh perkunjungan Ds. Kriekhof di Halmahera untuk melayani tandatanda ezrar.

Nyatalah bahwa ada beberapa aspek dalam peristiwa ini. Yang jelas ialah bahwa anggota-anggota Gereja Halmahera lebih suka bimbingan dari GPM.

E. Zaman Zending kedua dan Gereja Protestan Halmahera 1945-1949

Utusan-utusan Injil Belanda yang kembali dari tahanan Jepang dan mendapatkan Gereja Protestan Halmahera, yang telah didirikan waktu mereka dalam tahanan, mengambil tindakan-tindakan untuk membina pemimpin-pemimpin Gereja dari penduduk asli. Pada tahun 1947 dipilih beberapa guru dan dikirim ke SoE di Timor untuk dididik menjadi pendeta. Isteri-isteri dan anak-anak ikut dan isteri-isteri juga mendapat pendidikan dalam hal-hal yang penting untuk seorang isteri pendeta.

Pada tanggal 6 Juni 1949 didirikan Gereja Masehi Injili Halmahera. Ketuanya yang pertama Ds. A. Ploeger, wakil ketua Ds. Polnaya (Ambon), sekretaris Y. Yunga, bendahara S. B. Lesnusa (Ambon), anggota-anggota D. Wattimuri (Ambon), Ds. W van der Hoek, Y. Noya (Ambon). Jadi baru satu orang Halmahera duduk dalam Badan Pekerja Sinode yang pertama. Mereka yang dididik di Timor, belum kembali.

F. Zaman GMIH 1949 - sekarang

Sesudah GMIH didirikan, masih lama juga perlu bimbingan dari luar. Dan masih lama pemimpin-pemimpin Gereja asli menganggap utusan-utusan Injil sebagai atasan mereka dan se

baliknya pemimpin-pemimpin Belanda belum dapat memperlakukan pemimpin-pemimpin asli sebagai rekan-rekan mereka. Mungkin kenyataan bahwa pemimpin-pemimpin tersebut pernah menjadi anak piara seorang Belanda, mempersulit proses kedewasaan. Mungkin ini segi negatif dari sistim anak piara yang juga mempunyai segi positif.

1. Peristiwa-peristiwa dan masalah-masalah penting dalam sejarah Pekabaran Injil dan Gereja

a. Pada tahun 1914 Banua ), seorang Islam dari Jailolo, memimpin pemberontakan melawan orang Belanda. Dalam pemberontakan ini Controleur Agerbeek dibunuh. Orang Kristen dilarang oleh guru Nanlohy untuk ikut memberontak. Para pemberontak juga mau membunuh Ds.Fortgens, utusan Injil Belanda di Jailolo, tetapi pada perjalanan ke rumahnya mereka dicegah oleh seorang imam Islam yang sudah tua. Ia katakan bahwa Ds. Fortgens seorang baik, tidak kasar, malahan ia membantu orang Jailolo dengan memberikan obat-obatan kepada mereka. Akibat tindakan imam itu maka selamatlah Ds. Fortgens. Akhirnya Belanda mengirim tentaranya dan menumpas pemberontakan ini.

b. Perang dunia II 1941 - 1945

Jepang juga masuk di Halmahera. Pendeta-pendeta Belanda ditangkap dan dibawa ke luar Halmahera. Sesudah sekutu mengadakan tembakan-tembakan, penduduk menyingkir ke gunung-gunung dan hutan-hutan. Putuslah hubungan kampung dengan kampung, sehingga tiap jemaat berdiri sendiri. Makanan hanya sagu dan kelapa. Banyak orang mati karena dysentri. Pakaian habis. Guru Djumaty hanya mempunyai satu celana dan satu kemeja tangan pendek. Ia berkhotbah dengan pakaian itu. Ia bekerja sebagai tukang kayu.

c. 1947 Enam guru beserta isteri-isteri dan anak-anak mereka dikirim ke SoE di Timor untuk dididik menjadi pendeta. Mereka tamat tahun 1951.

d. 6 Juni 1949 dididirikan Gereja Masehi Injili Halmahera. e. Tahun 1950 keadaan politik di Indonesia menyebabkan orang Belanda dengan segera harus meninggalkan Maluku Utara. Yang berangkat waktu itu ialah Ds. W. van der Hoek, Ds. R.G.F. Vleeming, Nn. A. van Alphen, P. de Bruin, J. Knoester, Ds. A. Ploeger, Nn. Nieuwland. Timbang terima segala milik Zending dilakukan hanya secara darurat saja di muka KPS (Kepala Pemerintahan Setempat).

*) Sekarang ada Residen Angkatan Darat yang disebut Banau (bandingkan dengan Resimen Pattimura).

f. 1952 Ds. Djumaty dipilih menjadi ketua Sinode. Ia orang Halmahera yang pertama yang menjadi ketua Sinode. Ketua yang pertama pada pendirian GMIH ialah Ds. A. Ploeger dan sesudah ia berangkat pada tahun 1950, ia diganti oleh wakil ketua Guru Polnaya, seorang Ambon.

g. 1953. Dr. C.L. van Doorn dan Mr. S.C. Graff van Randwijck datang dari Jakarta sebagai wakil-wakil dari Zending untuk menyerahkan secara resmi segala milik Zending kepada GMIH.

h. Pergolakan DI/TII terasa di Loloda, Galela dan Tobelo pada tahun 1954. Di tempat-tempat itu golongan Kristen telah menderita penganiayaan. Pimpinan Sinode melaporkan hal ini kepada Pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat. Juga Parkindo telah mengambil tindakan-tindakan. Akhirnya keadaan dipulihkan oleh alat-alat Negara.

i. Kedatangan team dari Mennonite Central Committee (MCC) pada tahun 1957, terdiri dari seorang dokter, seorang perawat, seorang dari bidang pertanian dan seorang guru sekolah Alkitab. Team ini berganti tiga kali sampai pada tahun 1967 bulan Januari.

j. 1957-1960 pergolakan Permesta di Halmahera. Orang-orang Kristen dari Halmahera Utara mengungsi ke Ternate dalam keadaan serba kekurangan. Ds. Djumaty, ketua Sinode, mengumpulkan mereka dan melayani mereka secara rohani. Ada juga orang Islam di antara mereka, tetapi sebagian terbesar beragama Kristen. Pada waktu inilah terjadi jemaat GMIH di Ternate.

2. Jalannya Pekabaran Injil dan Perkembangan Gereja

Cara-cara Pekabaran Injil ialah melalui hubungan-hubungan perseorangan, sekolah-sekolah dan pelayanan medis, dan pekabaran Injil langsung kepada orang kafir. Tidak ada lagi pembaptisan-pembaptisan secara massal. Pertumbuhan Gereja berjalan perlahan-lahan. Umpamanya seorang guru jemaat merangkap kepala sekolah di Ibu Selatan telah membangun dua jemaat baru dalam jangka waktu 11 tahun. Kebanyakan orang Kristen berasal dari golongan kafir.

Di kecamatan Jailolo pembaptisan pertama terjadi pada tahun 1913. Di antara orang yang dibaptiskan pada tahun itu terdapatlah D. Djumaty yang pada waktu itu berumur 4 tahun. Ia dibaptiskan bersama dengan orang-tuanya dan kakakkakaknya. Jumlah orang yang dibaptis pada waktu itu ialah 62 orang. Baru pada tahun 1969, 56 tahun kemudian dari itu, D. Djumaty membaptiskan orang kafir yang terakhir di Jailolo (Lihat riwayat hidup D. Djumaty).

« ÎnapoiContinuă »