Imagini ale paginilor
PDF
ePub

selektip. Etika kebudayaan itu nantinya merangsang mengadakan alternatip-alternatip yang dibutuhkan supaya gerak perkembangan kebudayaan itu tidak salah arah. Kita memiliki kriteria-kriteria atau norma-norma yang diwariskan, baik dari agama maupun dari tradisi. Walaupun sifatnya telah dianggap adikodrati, namun itupun harus dimungkinkan untuk dirumuskan kembali, dikalimatkan secara baru sesuai dengan pemahaman terhadap situasi yang berubah. Etika kebudayaan yang baru itu hendaknya dapat menggairahkan kita untuk menemukan type kriteria yang baru untuk menghadapi persoalan-persoalan baru yang sebelumnya tidak pernah ada.

e) Situasi universil yang dihadapi manusia jaman ini dan yang akan datang memperlihatkan pengaruh, kekuasaan dan kemampuan yang luar biasa dari manusia itu sendiri atas perubahan alam, hidup masyarakat dan kebudayaan itu sendiri. Kecenderungan penyalahgunaan kemampuan dan kekuasaan manusia itu telah menimbulkan ketidakseimbangan yang mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Terjadilah krisis lingkungan, pengotoran alam dan lain sebagainya. Dalam menghadapi masa depan, dibutuhkan sekali adanya etika kebudayaan yang mampu membangkitkan kesadaran tanggungjawab manusia yang luas yang mencakup solidaritas manusia terhadap sesama manusia dan terhadap alam dan lingkungannya. Ini berarti secara positip membangkitkan kesadaran manusia atas kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam dirinya sendiri tetapi yang dimanfaatkan, diperkembangkan dan diabadikan demi kebahagiaan masyarakat luas, kebudayaan dan alam semesta. Kebudayaan yang berkembang demikian akan mengembangkan diri dengan usaha-usaha yang kreatip dan penuh kegirangan hidup dalam menghadapi masa depan umat manusia. Kemungkinan yang ditimbulkan oleh perkembangan budi dan kecakapan mencipta manusia, tidak usah lagi dilihat dalam teropong pesimisme.

Catatan penutup

Kita kini tengah menghadapi masa depan yang menanti. Masa depan itu belum pasti cerah, tetapi juga belum tentu suram. Ia terletak di tangan manusia bersama. Dunia kita masa kini nampaknya tengah terbelenggu oleh masalah-masalah rutin yang mengusahakan penyelesaian soal-soal, pertentangan-pertentangan dan bahaya-bahaya yang menumpuk, yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi dengan segala macam perubahan yang disebabkannya.

Dalam kerangka ini, maka dalam menelaah perkembangan masyarakat kita ditinjau dari segi kebudayaan, perlulah kita menempatkan secara wajar diri kita, bangsa kita di tengah-tengah jaringan kehidupan bersama antar bangsa-bangsa di dunia yang semakin memadat ini. Masalah dunia adalah masalah yang kita hadapi juga.

Kita harus bersikap lebih terbuka, tetapi dengan daya saring yang cukup kritis. Tidak mungkin lagi bagi kita untuk memilih diantara dua

alternatip sikap : a) mengawetkan secara kaku unsur-unsur yang khas, yang asli sehingga bersikap menolak semua yang dari luar, atau

b) mengikuti saja arus baru yang datang, menjiplak dan mencontoh metode-metode, ideologi-ideologi

dan ukuran-ukuran yang dianggap maju dan modern.

Memilih salah satu, tidak mungkin lagi, karena akibatnya adalah kehancuran atau keterbelakangan yang tak bisa dikejar. Kita harus mampu menemukan sintese yang sehat, demi kebahagiaan manusia Indonesia yang utuh, yang sejahtera materiil dan spirituil.

YESUS KRISTUS MEMBEBASKAN DAN MEMPERSATUKAN

Oleh J.L. Ch. Abineno

Saudara-saudara! Tema Sidang Raya ini ialah Yesus Kris tus membebaskan dan mempersatukan. Tema ini sama dengan tema Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia, yang diadakan kira-kira setengah tahun yang lalu di Nairobi (Afrika). Dalam pembicaraan dengan anggota-anggota Jemaat di beberapa tempat di Indonesia tentang tema Sidang Raya ini, ada yang bertanya: Mengapa justru tema ini yang DGI pilih sebagai tema Sidang Rayanya yang ke VIII di Salatiga? Apakah karena tema ini adalah tema yang dipakai oleh Dewan Gereja-gereja se-Dunia sebagai tema Sidang Rayanya yang tidak jadi diadakan di Indonesia? Apakah maksud DGI dengan tema ini? Apakah DGI mau mengulangi lagi dalam Sidang Raya di Salatiga apa yang telah dikatakan oleh Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Nairobi ? Mengapakah DGI tidak memilih suatu tema lain, yang lebih banyak mempunyai hubungan dengan tema Sidang Raya yang lalu, sehingga apa yang dipikirkan dan dipergumulkan bersama oleh Gereja-gereja kita di Pematang Siantar dapat dilanjutkan dan diperkembangkan di Salatiga ?

Pertanyaan-pertanyaan ini saya kemukakan di sini, bukan karena saya sendiri meragukan relevansi tema kita, tetapi hanya untuk mengatakan, bahwa di antara anggota-anggota Jemaat kita di Indonesia ada juga yang belum sepenuhnya memahami mengapa tema "Yesus Kristus membebaskan dan mempersatukan" kita pilih sebagai tema Sidang Raya kita. Hal ini, menurut pendapat saya, dapat dipahami. Sebab kalau ditinjau sepintas lalu saja tema ini tidak atau tidak banyak mempunyai hubungan dengan tema Sidang Raya yang lalu tema Sidang Raya ini berkata-kata tentang karya atau tindakan penyelamatan Kristus dan tema Sidang Raya yang lalu berkata-kata tentang apostolat atau pengutusan Gereja ke dalam dunia. Karena itu kita dapat bayangkan kalau ada orang yang kuatir, bahwa apa yang telah kita pikirkan dan pergumulkan bersama di Pematang Siantar itu tidak akan kita lanjutkan dan perkembangkan lagi dalam Sidang Raya ini. Tetapi kalau ditinjau lebih mendalam apa yang dikuatirkan itu sebenarnya tidak mempunyai dasar yang kuat.

Seperti kita tahu, salah satu tugas yang dianggap oleh DGI sebagai tugasnya yang paling pokok pada waktu ini adalah mengatakan kepada dirinya sendiri dan kepada dunia — khususnya dunia Indonesia - bahwa Gereja-gereja kita hanya mempunyai satu fungsi atau tugas yang sentral dan unik, yaitu memberitakan kepada semua orang Injil Yesus Kristus, yakni kabar-kesukaan tentang karya-penyelamatan Allah di dalam Dia untuk seluruh dunia. Sesuai dengan itu DGI, dalam tiap-tiap Sidang Rayanya, berusaha membahas suatu segi tertentu dari Injil Yesus Kristus itu, seperti yang ia nyatakan dalam tema-tema yang ia pakai. Segi yang kita bahas dalam Sidang Raya yang lalu di Pematang Siantar ialah Gereja sebagai persekutuan yang diutus oleh Yesus Kristus ke dalam dunia untuk memberitakan, dengan perkataan dan perbuatan, karya-penyelamatan Allah yang kita sebutkan tadi untuk semua orang. Dan segi yang kita mau bahas dalam Sidang Raya ini ialah karya-penyelamatan Allah yang sama, tetapi dilihat dari sudut lain. Kedua kata "membebaskan" dan "mempersatukan" dalam tema ini mengatakan kepada kita apakah isi kongkrit pemberitaan Gereja-gereja kita di Indonesia pada tahun 1976 ini dan pada tahun-tahun yang akan datang, antara Sidang Raya ini dan Sidang Raya yang berikut. Kita lihat, bahwa kedua segi, yang dinyatakan dalam tema Sidang Raya ini dan tema Sidang Raya yang lalu, erat berhubungan, sekalipun selayang pandang mungkin tidak begitu nampak.

-

I

Saudara-saudara! Sesudah kata-kata pendahuluan di atas, kita sekarang mau mulai dengan pembahasan kita yang sebenarnya tentang tema kita Yesus Kristus membebaskan dan mempersatukan. Pertanyaan pertama yang harus kita jawab ialah: Apakah yang dimaksudkan di sini dengan pembebasan? Waktu tema ini sepintas lalu kami bicarakan dalam Sidang Badan Pekerja Lengkap yang baru lalu di Sukabumi (12-15 April 1976), kami mendapat laporan, bahwa tema ini telah dipakai oleh banyak GerejaAnggota DGI sebagai tema Sidang Sinode mereka dan sidang-sidang gerejani mereka yang lain, dan bahwa pembebasan yang dimaksudkan di sini ialah, menurut mereka, pembebasan dari dosa, kematian dan kuasakuasa yang menyatakan diri dalam rupa-rupa bentuk, seperti agamaagama suku, roh-roh jahat, adat yang merusak, tradisi yang menindas, struktur yang tidak adil, kekuasaan yang sewenang-wenang, lan lainlain. Daftar yang panjang ini menyatakan kepada kita, bahwa bidangcakup karya pembebasan Yesus Kristus sangat luas. Teranglah, bahwa dalam suatu ceramah yang pendek seperti ceramah ini kita tidak dapat membahas segala sesuatu yang disebutkan tadi. Kita harus membatasi diri pada beberapa hal yang paling penting. Berhubung dengan situasi Gereja-gereja dan masyarakat kita di Indonesia pada waktu ini saya ingin menyebutkan hal-hal yang berikut:

Pertama Pembebasan yang dimaksudkan oleh Kitab Suci ialah pembebasan yang total, pembebasan yang bukan saja mencakup apa yang biasa kita sebut "bidang rohani", tetapi juga bidang-bidang lain, khususnya bidang sosial dan politik. Malahan barangkali kita harus katakan, bahwa pembebasan yang dimaksudkan oleh Kitab Suci ialah pertama-tama pembebasan yang biasa kita sebut "pembebasan sosial-politis" pembebasan dari penindasan, penderitaan dan ketidak-adilan.

Contoh yang paling jelas dari hal ini ialah pembebasan Israel dari Mesir. Pembebasan ini adalah "pembebasan sosial-politis". Ia adalah akhir dari suatu masa yang lama (= masa penindasan, masa penderitaan) dan permulaan dari suatu masa yang baru (= masa kemerdekaan, masa pembangunan suatu masyarakat yang adil, di mana persaudaraan, seperti yang Allah kehendaki dalam PerjanjianNya, dapat bertumbuh dan berkembang).

Dalam pasal-pasal pertama dari Kitab Keluaran kita membaca tentang penderitaan yang Israel alami dalam "rumah perbudakan" di Mesir (13:3; Ul 5: 6), tentang penghinaan dan kerja-paksa ((1:10-14), tentang tindakan-tindakan yang kejam terhadap mereka (56-14), terhadap wanita-wanita dan anak-anak mereka (1 : 1520), dan lain-lain. Untuk membebaskan mereka dari semuanya itu Tuhan Allah memilih Musa sebagai "alat"-Nya. Kepada Musa Ia katakan, bahwa Ia telah sungguh-sungguh memperhatikan penderitaan umatNya di Mesir dan telah mendengar keluhan mereka. Karena itu la sekarang turun untuk membebaskan mereka dari tangan orang Mesir. "Telah Ku lihat", demikian firmanNya, "betapa kejamnya orang Mesir menindas mereka. Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umatKu, orang-orang Israel, keluar dari Mesir" (5 : 7-10).

Musa taat dan pergi, tetapi pekerjaannya tidak mudah. Mulamula orang Israel "tidak mau mendengarkannya, karena mereka putus asa dan karena perbudakan yang berat itu" (6:8). Kemudian, ketika mereka diancam oleh tentara Mesir, mereka mengeluh dan bertanya kepada Musa: "Mengapa engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini ?" (14:11). Keluhan ini terus berlangsung selama perjalanan mereka melalui padang gurun. Kepada Musa mereka katakan, bahwa mereka lebih suka hidup dalam kepastian perbudakan daripada hidup dalam ketidak-pastian pembebasan: "Ah, lebih baik kami telah mati di tanah Mesir oleh tangan Tuhan, ketika kami duduk menghadapi kuali penuh daging dan makan roti sampai kenyang" (16:3).

Tetapi Tuhan Allah sabar. Dengan rupa-rupa jalan Ia memimpin dan mengajar mereka untuk dengan jelas melihat sebab-sebab perbudakan yang mereka alami di Mesir dan dengan itu memahami maksud yang sedalam-dalamnya dari pembebasan mereka, yaitu supaya mereka dapat hidup lagi sebagai umat Perjanjian dan dapat menunaikan tugas, untuk mana mereka telah Ia pilih dan panggil menjadi "berkat bagi segala bangsa" (Kej 12:3) dan "imam-imam Allah" (Kel 9: 6 dan lain-lain) untuk melayani selu

« ÎnapoiContinuă »