Imagini ale paginilor
PDF
ePub

MEMAHAMI PERKEMBANGAN MASYARAKAT

DARI SUDUT KEBUDAYAAN

Oleh

Fridolin Ukur

Pendahuluan

Memahami perkembangan masyarakat dari sudut kebudayaan, adalah suatu pokok pembahasan yang cukup pelik dan mempunyai jaringan kaitan yang majemuk dan luas. Karena kebudayaan mencakup cara hidup masyarakat, tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat sebagaimana itu muncul dari aksi dan interaksi sosial. Dengan demikian maka lingkungan atau konteks kebudayaan itu menyangkut sistim nilai-nilai, ethos, agama, ideologi dan sebagainya yang ikut menentukan cara orang berpikir, serta sikap mereka terhadap kenyataan dan pengalaman.

Meskipun tingkah laku sosial yang sekarang tidak boleh disamakan begitu saja dengan kebudayaan, namun bila diamati tingkah laku tersebut, maka ia mempunyai arti yang besar dilihat dari segi perubahan kulturil. Bila tingkah laku sosial melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan kulturil yang lajim, maka terjadilah perubahan-perubahan atau modipikasi. Hal ini dapat berpengaruh dan merubah kebiasaan kolektip. Reaksi-reaksi lama akan memudar dan reaksi-reaksi baru menggantikannya. Dalam kerangka kebudayaan inilah kita coba memahami perkembangan masyarakat Indonesia.

Selanjutnya dalam tulisan ini kita tidak akan membedakan perubahan-perubahan sosial dari perubahan-perubahan kulturil, tetapi kita mencoba melihatnya sebagai satu gejala yang menyeluruh. Demikian pula pengertian kebudayaan tidak lagi dilihat sebagai 'katabenda' tetapi selalu dipergunakan dalam arti 'kata kerja', yang memandang kebudayaan itu sebagai keseluruhan kegiatan serta tindakan-tindakan manusia dalam masyarakat.

I. POLA DASAR KEBUDAYAAN INDONESIA DAN PERKEM-
BANGANNYA.

1. Indonesia telah mengalami banyak ragam perkembangan kulturil, jauh sebelum terjadi perjumpaan dengan kebudayaan Barat modern. Kebudayaan rohani secara intens dipengaruhi oleh agama-agama besar, seperti agama Hindu, Budha, Islam dan kemudian Kristen. Namun sebelum adanya pengaruh agama-agama tersebut, sudah ada pola-pola dasar kebudayaan asli Indonesia, yang erat berkait dengan landasan materiil masyarakat.

2. Ada dua pola dasar yang dapat dianggap sebagai tumpuan kebudayaan Indonesia asli, yang berlandaskan sistim pertanian 1) :

(a)

(b)

(a) yang bertumpu pada sistim perladangan

(b) yang bertumpu pada sistim persawahan/irigasi Di daerah-daerah di mana sistim perladangan dipakai selaku cara bercocok tanam dan berekonomi, maka masyarakatnya hidup dalam pengelompokan sosial yang umumnya didasari oleh garis-garis genealogis. Kebudayaan yang berkembang di sana, seperti yang nampak dalam seni anyam, seni ukir dan pahat, seni tari, nyanyi dan musik, pada umumnya menampakkan sifat ”kebudayaan populer". Suatu kebudayaan yang dihayati dan digemari dan menjadi ekspresi seluruh rakyat. Contoh yang jelas nampak di jaman sekarang ini tarian pergaulan, tarian santai dan lain-lain, demikian juga nyanyian-nyanyian daerah yang menjadi populer di seluruh masyarakat, umumnya berasal dari daerah-daerah yang dulunya mempergunakan sistim perladangan. dulunya mempergunakan sistim perladangan.

Masyarakatnya lebih mobil, sifat-sifat perantau dan pengembara sangat kuat, dan sebab itu mereka tidak begitu sempat membentuk suatu masyarakat di mana penduduknya memadat. Sikap terbuka terhadap situasi-situasi baru lebih terasa. Kepemimpinan di kalangan kelompok masyarakat demikian ini lebih terarah kepada kemampuan, ketrampilan dan keperwiraan seseorang anggota masyarakat. Sifatnya agak lebih demokratis. Di daerah-daerah yang mempergunakan sistim irigasi menampakkan gambaran yang berbeda. Khususnya di daerah-daerah persawahan yang luas, di mana hasil pertanian itu lebih dari cukup, maka surplusnya dapat disuplai untuk memberikan kemungkinan memelihara atau membiayai suatu pemerintahan yang tetap dengan aparat-aparat birokratisnya. Lebih dari itu kebudayaan sawah sebagai suatu penggunaan tanah yang intensip, mengakibatkan menetap dan memadatnya penduduk di daerah-daerah yang diusahakan. Daerah-daerah berpenduduk tetap dan padat itu memungkinkan adanya pusat administrasi yang mantap dengan semua perlengkapannya, termasuk pasukan keamanannya.

1) W.F. Wertheim, Indonesia Society in Transition, second revised, edition, W. van Hove Ltd The Hague and Bandung 1959, hal 282.

[ocr errors]

Dengan menetap dan memadatnya penduduk agraris itu, terjamin pula tenaga kerja untuk pembuatan jalan, pekerjaan irigasi dan kemudian pembangunan candi-candi yang besar dan mewah.

Di daerah persawahan seperti itu maka perkampungan teritorial umumnya diikat bersama di bawah wibawa kerajaan, yang berpusat di keraton. Lahirlah bentuk masyarakat feodalistis, di mana tradisi dikembangkan dan dipertahankan secara lebih teratur. Kultur yang lahir di sana merupakan kultur keraton, suatu kebudayaan yang kemudian mendominir serta menganggap dirinya sebagai kebudayaan seluruh rakyat.

3. Ketika kebudayaan Hindu masuk, maka ia telah mempunyai sarana yang lengkap dalam kebudayaan keraton, sehingga dengan mudah dikembangkan di daerah-daerah yang susunan masyarakatnya berbentuk feodalistis. Buktinya kita lihat bahwa Hinduisme bisa berkembang di Jawa dan kemudian di Bali, sedangkan di pulau-pulau lainnya tidak nampak pengaruhnya, kecuali kemudian akibat peperangan yang dilancarkan oleh kerajaan Hindu Jawa.

Adanya penduduk yang padat memungkinkan terwujudnya kebudayaan candi yang besar dan agung. Jawa pada waktu dulu terdiri dari kerajaan-kerajaan yang relatip lebih mempunyai kontinuitas bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Kerajaan Jawa pedalaman terutama, adalah tempat berkembangnya agama-agama sebelum Islam. Di sanalah berpadu unsur-unsur budaya dari agama-agama (agama pra Hindu, Hindu dan kemudian Budha), yang kemudian mewujudkan satu pola budaya Jawa. Di sana dikembangkan karya-karya seni, seperti seni tari, nyanyi, sastra. Juga di tempat-tempat kedudukan raja-raja bawahan, karya-karya seni dikembangkan walaupun tidak seintensip seperti di pusat kerajaan. Kegiatan-kegiatan semacam itu terutama diarahkan untuk menghibur para raja, yang sekaligus dianggap tanda bakti kepada kerajaan Karya-karya seni itu kemudian membudaya secara otomatis di kalangan rakyat jelata dan berkembang secara meluas.

4. Sementara itu lahir kota-kota dagang di pesisir. Kota-kota pesisir inilah yang merupakan perantara antara kebudayaan populer dengan kebudayaan kraton, di mana terjadi interaksi antara keduanya. Ke kota-kota inilah para pedagang dari luar datang disertai kebiasaankebiasaan dan kekhususan budayanya. Melalui kota-kota dagang pesisir ini, Islam mulai berkembang dan berpengaruh. Lahirlah semacam 'kebudayaan kota' yang mempunyai sifat 'pengantara' (intermediate culture) dan yang kuat dipengaruhi Islam.

5. Ketika kebudayaan Barat tiba, maka ia lebih dahulu menyentuh kota-kota dagang di pesisir. Perjumpaan dengan kebudayaan Barat di situ melahirkan semacam 'kebudayaan urban borjuis', lalu merembes masuk melalui kraton, terutama di kalangan para priyayi. Kebudayaan Barat waktu itu tidak bisa berkembang begitu saja, tanpa adanya penyesuaian-penyesuaian. Baik di kalangan bangsa Barat sendiri yang

menjadi kolonisator, maupun di kalangan elite/priyayi Indonesia, muncullah semacam 'kebudayaan peranakan', suatu perbauran antara kebudayaan kraton dengan kebudayaan Barat.

II. SITUASI KEBUDAYAAN INDONESIA KINI

1. Pertemuan kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan asing, sejak perjumpaannya dengan kebudayaan Hindu sampai pertubrukannya dengan kebudayaan Barat modern tidaklah terjadi secara mendadak, tapi telah melewati proses ratusan tahun. Namun perjumpaan yang intens dengan kebudayaan Barat modern baru dimulai pada permulaan abad ke XX. Pada waktu itu Indonesia sudah sedikit banyaknya siap menghadapi perjumpaan yang mendalam tersebut, malah telah mampu memanfaatkan teknik dan organisasi modern untuk menghadapi Barat yang modern dan sekuler itu. Hal ini terbukti dengan berhasilnya Indonesia memenangkan perang kemerdekaan di tahun 1945.

Sebagai bangsa yang hidup di tengah-tengah masyarakat dunia, Indonesia berusaha pula menempatkan diri di tengah-tengah kebudayaan dunia yang bermacam ragam dan yang berkembang semakin cepat itu. Dalam tata pergaulan itu pengaruh-pengaruh dari arus medernisasi terhadap segala aspek kehidupan bangsa terasa sangat kuat. Kemajuan teknik dan teknologi, perkembangan nilai-nilai sosial-budaya dari bangsa-bangsa lain disertai berbagai ragam arus pendukung modernisasi, datang membanjir dan menggenangi gaya kehidupan bangsa.

Di Indonesia secara mendadak masyarakat mengalami kehidupan yang terbentang antara manusia yang masih hidup dalam kebudayaan batu dengan manusia yang hidup dalam kebudayaan ruang angkasa dan yang serba dikomputerkan.

Kontradiksi-kontradiksi pasti timbul sebagai akibat sentuhan-sentuhan tersebut. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat kita berkembang tidaklah menurut loncatan-loncatan yang terpatah-patah tapi lebih menunjukkan perkembangan garis berganda, yang bersambung dan berkait, 2) sehingga goncangan-goncangan yang terlalu dahsat tidak begitu dialami oleh masyarakat kita.

2. Kontinuitas dan diskontinuitas kebudayaan

Sistim-sistim sosial yang biasanya dianggap stabil, umumnya bercirikan stabilitas kebudayaan. Dalam lingkungan yang demikian semua anggota masyarakat menerima secara umum nilai-nilai yang sama sebagai pedoman. Sampai permulaan abad ke XX, pada umumnya masyarakat-masyarakat kita (terutama masyarakat suku) memiliki kontinuitas kebudayaan serupa itu. Umpamanya, seorang petani miskin menerima saja/mengakui begitu saja akan hak-hak istimewa dan kedudukan golongan atasan/feodal. Di situ tradisi tidak menentang sistim sosial atau nilai-nilai dasar yang berlaku.

2) Umar Kayam, Peranan Seni Tradisionil dalam modernisasi dan Integrasi Nasional di Asia Tenggara, Budaya Jaya 40, September 1971.

Tetapi sejak permulaan abad ke XX, dan terutama dengan tercapainya kemerdekaan, maka keutuhan kebudayaan tersebut ditantang oleh nilai-nilai baru, yang biasanya disebut nilai-nilai universil dan orientasi ideologis baru. Di samping itu dengan adanya proses pembangunan secara intensip dengan memasukkan segala perlengkapan modern yang dibutuhkan telah melahirkan semacam diskontinuitas kebudayaan.

Tetapi walaupun demikian, kita masih dapat mengatakan bahwa kebanyakan penduduk tetap berakar dalam kebudayaan tradisionil. Secara lambat sekali mereka menerima dimensi-dimensi baru bagi cara berpikirnya, tetapi tanpa merubah orientasi nilai-nilai lama secara efektip. Sebagai contoh, kita melihat sikap massa petani (jumlah terbesar dari penduduk kita): pekerjaan petani tidak menimbulkan perhatian, karena dianggap tidak cukup berkedudukan. Mereka tetap merasa rendah berhadapan dengan pegawai atau pejabat lainnya. Bila ada kesempatan, maka akan dicari pekerjaan lain yang dianggap lebih terhormat. Akibatnya anak-anak muda mereka tidak menyukai pendidikan ketrampilan untuk menjadi petani yang lebih produktip. Hal ini membawa akibat membanjirnya penduduk ke kotakota dan pusat-pusat pekerjaan lainnya. Di pihak lain kita melihat sikap hidup para pegawai/pejabat yang dalam orientasi tradisionil merasa diri lebih tinggi dari masyarakat petani dan sebab itu mereka tidak mampu dan tidak mau mengidentikkan diri dengan petani, yang sebenarnya harus mereka kembangkan dan bimbing. Para pegawai ini juga lebih mengarahkan pandangannya ke kota-kota. Untuk berkedudukan di kota, mereka harus mengusahakan supaya pangkat atau kedudukan meningkat. Orientasi pangkat atau status ini adalah gejala sosial yang dapat dilihat di mana-mana. Karena dengan pangkat yang lebih tinggi, mereka dapat menikmati beberapa hak istimewa. Harga diri dan status sosial bertambah dan hal ini biasanya diiringi dengan pendemonstrasian status baru itu.

Masyarakat kita juga memiliki semacam kelompok elite. Bila dulu sebelum perang dunia, kelompok elite merasa puas terhadap diri sendiri dengan kedudukannya yang jauh lebih tinggi dari massa masyarakat lainnya, maka sekarang keadaannya agak berubah. Mereka ini umumnya sangat mengagumi kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh dunia modern di luar, lalu mencontoh pola berpikirnya dan meniru cara hidupnya. Hal ini sering nampak dalam mode, cara mengatur rumah tangga, bentuk-bentuk rekreasi sampai-sampai dalam hal berbahasapun sering cenderung mencampur-campur dengan bahasa asing. Terutama di kalangan elite yang baru muncul, mereka sibuk memutuskan akar-akar kebudayaan sendiri dengan menjiplak kebudayaan luar. Inilah yang dapat melahirkan, apa yang bisa disebut sebagai "kebudayaan banci" (hybrid culture) 3).

3) Niels Mulder, Lingkungan Kulturil Dan Pembangunan Di Asia Tenggara, Basis, September 1973 XXII. 12, hal 354.

« ÎnapoiContinuă »