Imagini ale paginilor
PDF
ePub

Adalah merupakan sesuatu yang tragis, bila kita mendengar kutukan terhadap demokrasi ala Barat dan tindakan totaliter ala komunis, tapi justru dalam mekanisme Demokrasi Pancasila sendiri, sebagian tindakan tercela tersebut terpaksa dipakai entah sengaja atau tidak. Dalam hal ini, maka proses komunikasi dan akomodasi politik yang sering dikampanyekan sebagai Demokrasi Pancasila, menghendaki juga pedoman pelaksanaan yang praktis, perumusan yang positif dan aktif, program yang jelas, riil dan penuh inisiatif untuk menampung hasrat masyarakat untuk berpartisipasi. Motivasi, inilah kata kunci untuk menggerakkan keseluruhan mekanisme keikutsertaan rakyat dalam proses pembangunan Nasional, khususnya kesadaran politik akan perlunya mewujudkan Ketahanan Nasional demi menghadapi ancaman baru bagi negara Republik Indonesia, imperialisme ekonomi dan ancaman komunis.

Sama dan sebangun dengan penjabaran demokrasi politik dan demokrasi ekonomi menurut falsafah Pancasila, demikian pula segenap pola kehidupan bangsa di segala bidang yang lain. Sistim kesejahteraan sosial yang bagaimana yang dinantikan rakyat, yang sesuai dengan falsafah Pancasila, yang sekaligus bisa diterapkan di dalam kondisi dan situasi riil yang ada. Penjabaran ini meliputi pelbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Semuanya harus dirumuskan secara aktif, bukan sekedar negatif. Semuanya harus diperinci secara detail, bukan dengan garis besar yang berisi slogan muluk. Bahkan semuanya harus dibekali dengan program yang tepat untuk bisa dilaksanakan secara konkrit oleh semua fihak dan bukan sekedar sebagai bahan untuk hafalan atau jual tampang. Penjabaran Pancasila ini memang agak terlambat, sebab kita sudah 30 tahun merdeka. Akibatnya memang cukup membuat kita prihatin. Misalnya di bidang ekonomi kita ketinggalan agak jauh dibanding saudara saudara di Philipina dan Malaysia. Tapi barangkali, justru setelah berdebat 14 abad, justru kemudian terbukti bahwa kita masih punya senjata yang selama ini belum dimanfaatkan, yaitu Pancasila, yang perlu diasah dan ditempa sehingga siap digunakan.

Sumber Inspirasi

Sebagai penutup perkenankan penulis menyimpulkan bahwa perang kemerdekaan yang tidak pernah dialami oleh generasi yang sebaya dengan penulis, tetap harus merupakan sumber inspirasi bagi generasi pembangunan sekarang dan di masa datang. Perang kemerdekaan merupakan ujian pertama, apakah penduduk kepulauan ini mampu menempuh percobaan hebat dan tetap bersatu padu mempertahankan diri sebagai satu bangsa dan menegakkan kemerdekaannya. Jiwa dan semangat tanpa pamrih, rela berjuang sepenuh hati, inilah yang menjadi sumber utama keberhasilan bangsa Indonesia. Di samping tentu saja rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi perjuangan itu karena penjajahan memang tidak sesuai dengan martabat manusia.

Sumber sumber sejarah perang kemerdekaan masih sangat langka, ini harus digiatkan penulisan dan penyajiannya kepada masyarakat. Penulisan sejarah perang kemerdekaan harus obyektif dan tidak terlalu subyektif apalagi kalau dimaksud membenarkan tindakan politik segolongan saja. Pergolakan politik dan tantangan Belanda, perkembangan

situasi internasional, semuanya kait mengkait dalam memaksa bangsa Indonesia me-formulir sistim pemerintahannya, sistim politiknya yang menimbulkan akibat berantai di kemudian hari. Tapi semua itu tidak terlepas dari dimensi ruang dan waktu yang saat itu membatasi ruang gerak pimpinan Nasional.

Sehubungan dengan Konsensus Nasional tentang prinsip untuk menegakkan Negara Proklamasi dengan beaya apapun, jiwa raga dan harta benda serta hasrat dan ambisi golongan atau pribadi, maka Angkatan 45 harus mewariskan jiwa dan semangat itu kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Sebagian rakyat Indonesia, dari pelbagai generasi, termasuk Angkatan 45 sendiri telah menyeleweng dari cita-cita luhur memerdekakan Indonesia untuk membangun negara bukan membangun pribadi dan mengorbankan negara. Mereka ini harus ditatar kembali dengan jiwa dan semangat perjuangan 45.

Pewarisan nilai-nilai tersebut harus sudah disesuaikan dengan kondisi dewasa ini. Perjuangan kita sekarang bukan menghadapi balatentara dengan meriam melainkan menghadapi ancaman subversi komunis, yang mempergunakan dalih ketidak-adilan sosial. Dalih ini muncul karena sistim masyarakat kita belum di-Pancasilakan secara sungguh sungguh, baru dalam tingkat slogan. Pancasila belum merupakan senjata operasionil, baru merupakan benda keramat seperti keris yang di-sakralkan. Sekarang ini keris itu sedang diasah kembali oleh ratusan empu empu kita, yang berada diperguruan tinggi, para sesepuh kita yang dipimpin Bung Hatta, untuk memberi bobot dan isi kepada Pancasila, agar bisa digunakan betul betul sebagai sistim senjata sosial bukan sekedar penangkis komunis, melainkan pembentuk masyarakat adil dan makmur. Perjuangan ini lebih berat, diakibatkan oleh pelbagai pengaruh selama 14 abad setelah perang kemerdekaan. Ketidakadilan sosial yang masih dirasakan juga makin pelik, sebab berkaitan juga dengan pelbagai masalah yang seolah-olah suatu fait accompli disodorkan kepada bangsa kita. Sebagai contoh, penanaman modal asing dengan eksesnya merupakan suatu alternatif yang memang jelek, tapi terpaksa harus dilakukan mengingat kita tidak bisa mengisolir diri di samping kondisi obyektif negara kita sewaktu krisis sepuluh tahun berselang.

Generasi muda yang sekarang harus bersiap meneruskan estafete pembangunan dan semua unsur generasi lain yang masih berperanan dan berpartisipasi hendaknya menyadari bahwa perjuangan di masa kini dan di masa depan tidak lebih ringan daripada semasa perang kemerdekaan. Perjuangan membentuk dan membina sesuatu, lebih berat daripada mendobrak dan menggulingkan sesuatu. Membentuk, membina, mengarahkan dan menciptakan negara Republik Indonesia yang berPancasila dalam arti harfiah dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari adalah satu perjuangan besar.Ini adalah suatu tantangan yang sangat monumental.

Ideologi Pancasila sedang diuji, apakah akan sanggup secara effektif, menciptakan dan mengisi masyarakat adil dan makmur bagi 130 ju

ta manusia Indonesia. Ideologi itu harus diisi dan di-operasionil-kan agar kita bisa memusnahkan samasekali ancaman komunisme yang hendak me-monopoli pola keadilan sosial di bawah panji-panjinya. Kita harus secara tegas menyatakan bahwa di dalam sistim ideologi Pancasila, Keadilan Sosial betul-betul mendapat tempat terhormat dan diberi priori tas perwujudannya. Kita harus menolak propaganda komunis, bahwa hanya komunislah yang mampu memberi perbaikan nasib kepada jutaan rakyat kecil.

Di sinilah arti penting, penjabaran falsafah dan ideologi Pancasila menjadi ideologi yang operasionil, agar diresapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh segenap lapisan masyarakat. Apabila seorang Samuelson merasa bangga bisa berprestasi berkat sistim kapitalisme, dan seorang Karpov bangga bisa berprestasi berkat sistim komunisme, maka Indonesia membutuhkan banyak sekali Rudy Hartono untuk meyakinkan dunia bahwa sistim pembinaan olahraga dalam Negara Pancasila yang tidak mempertentangkan amatirisme dan profesionalisme bisa melahirkan juara dunia. Indonesia juga membutuhkan ahli atom, ahli kedokteran, ahli konstruksi, ahli ilmu pengetahuan lain dan pengusaha yang sukses. Pendeknya, sama seperti Jepang bangga dan disegani oleh dunia karena kekuatan riil yang dimiliki bangsa itu, maka Indonesia pun harus mampu menciptakan diri menjadi Medium-Power yang disegani melalui sistim ideologi Nasional, yaitu Pancasila.

Dalam batasan yang agak sempit karena harus berkisar pada masa perang kemerdekaan inilah, penulis mencoba mengambil intisari terpenting dari makna dan nilai perang kemerdekaan bagi generasi pembangunan. Mudah mudahan esei yang tidak terlalu ilmiah ini memperoleh perhatian yang layak dari masyarakat.

Bibliography:

1. Adam Malik Riwayat Proklamasi Agustus 45

2. Mr. Achmad Subardjo: Lahirnya Republik Indonesia

3. George McTurnan Kahin: Nationalism and Revolution in Indonesia 4. Ali Murtopo: Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 tahun dan Strategi Politik Nasional

5. Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto 16 Agustus 1975.

6. Suratkabar Kompas

SEKITAR PERINGATAN MUHAMMAD IQBAL

Pengantar

Pada malam 22 April 1976, di Taman Ismail Marzuki di Jakarta telah diadakan Malam Peringatan Sir Muhammad Iqbal, filosof dan pujangga Islam yang besar itu dari kawasan India/Pakistan. Karya Iqbal yang poetis dan filosofis tidak hanya bergema di dunia Timur umumnya dan di dunia Islam khususnya. Sejak semula, alam pikirannya menarik perhatian pula di dunia Barat, dan biasanya, sesudah terbitnya sesuatu buku atau kumpulan syair yang baru, tidak perlu menunggu terlalu lama sampai karya itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris ataupun kadangkali ke dalam bahasa lain seperti bahasa Perancis atau Jerman, yang memungkinkan pemuka pikiran Eropa dapat ikut menikmati karyanya.

Siapakah Muhammad Iqbal itu? Ia lahir di Sialkot, Panjab, pada tanggal 22 Pebruari 1873; ada lainnya yang menganggap tanggal 9 Nopember 1876 sebagai hari kelahirannya. Sesudah studinya di Lahore, dan sesudah dipegangnya beberapa jabatan sebagai guru, ia pada tahun 1905 bertolak ke Cambridge, negeri Inggeris, untuk memperdalam pengetahuannya dalam ilmu filsafat dan hukum. Pada waktu itu, puisinya dalam bahasa Urdu sudah menjadi namanya harum di lingkungan luas, sampai menarik perhatian Sir Thomas Arnold, seorang ahli ilmu ketimuran yang bernama, yang sebenarnya mengajak Iqbal untuk melanjutkan studinya. Pada tahun 1907, Iqbal meninggalkan Cambridge menuju Heidelberg dan München di mana ia peroleh gelar sarjananya (Dr. phil), berdasarkan disertasi yang berjudul: The Development of Metaphysics in Persia. Ketika ia menyusun skripsi ini, alam pikirannya masih sangat dipengaruhi oleh taṣauwuf pantheis yang klasik, seperti yang diutarakan oleh Muhyî ad-dîn Ibn al-'Arabî (1165-1240) dan Abd alKarîm Jîlî (1365-1428) dengan konsepsinya akan "Manusia Sempurna" (Insân Kâmil), yang di kemudian hari tak sedikit mengilhami şûfî Sumatra yang besar Hamza Fanşûrî (± 1600)1). Tetapi yang paling dicintai Iqbal ialah pujangga mistis yang besar Maulânâ Jalâl ad-dîn Rûmî (1207-1273).

1) Untuk keterangan lebih lanjut pembaca dipersilahkan membahas uraian H. Bahrum Rangkuti dalam buku Asrar-i Khudi, lih. bibliografi di bawah, atau buku Syed Muh. Naguib al-Attas, The Mysticism of Hamza Fansuri. Kuala Lumpur 1970.

Pada tahun 1908, sesudah ia lulus sebagai pengacara di London, Iqbal kembali ke negerinya yang sedang dijajah. Dari tulisan-tulisan pembaharu pemikiran Islam yang termasyhur Jamâl ad-dîn al-Afġânî (1839-1897) para pemuka Islam sudah mendapati bahwa sikap umat Islam yang waktu itu pada umumnya pasip dan apatis, yang disebabkan oleh ketergantungan mereka yang buta atau sempit (taqlid) terhadap tradisi-tradisi tertentu, dengan nyata bertentanganlah dengan masa lampau dari peradaban Islam yang mulia itu. Dan bahwa mereka dapat dijajah adalah akibat dari sikap itu. Padahal al-Qur'ân sendiri sudah memperingatkan: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, kecuali jikalau mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri" (Sura XIII, 11). Sehingga Allah hanya bertindak apabila manusia ikut bergiat. Dalam pengertian Muhammad Iqbal, kemunduran umat Islam disebabkan oleh karena "kerjasama" itu antara Allah dan manusia tidak terlaksana lagi: cinta manusia akan Allah kehilangan; iman menjadi formalis dan para mu'minin menjadi pengikut-pengikut dari penghulu agama saja. Cinta ('išq) akan Allah, sesuatu sikap yang menggerakan serta menggiatkan pemiliknya, memang merupakan suatu motip yang amat sering direnungkan oleh para șûfî. Tetapi dalam pengertian Iqbal, cinta itu tidak membawa pemiliknya kembali kepada asal-mulanya di dalam dât mutlaq, seperti yang diartikan dalam taṣauwuf pantheis. Melainkan cinta itu justru memperkuat "diri" seseorang, sambil menjadikannya benar-benar bertindak selaku khalifa dan pembantu Allah di dunia ini. Dalam hal ini, Iqbal mempertentangkan cinta dengan ilmu (pengetahuan) yang kering sifatnya dan tak berdaya: "adapun agama tanpa kekuatan ialah filsafat belaka",ujarnya. Sudah jelas dengan sendirinya bahwa kekuatan ini bukanlah kekuatan duniawi melainkan kekuatan rohani. Dengan demikian, cita-cita para şûfî dihubungkannya kembali dengan dasar theologis al-Qur'ân.

Pandangan ini diuraikan Iqbal dalam suatu syair yang panjang, yang bentuknya diilhami oleh al-Maṭnâwî, karya Jalâl ad-dîn Rumi. Bahasa yang dipakainya dalam syair ini ialah bahasa Persia yang sejak raja-raja Moghul biasanya dipakai oleh para Muslimin di India yang berpendidikan; sekaligus, dengan memilih bahasa itu, lingkungan pembacanya diperluas ke Persia dan ke Afghanistan. Judul yang diberikannya untuk syair itu ialah Asrâr-i Khûdî, Rahasia-rahasia pribadi (atau : diri).

Terbitnya syair ini menimbulkan pertentangan yang hebat, sebab pada umumnya, dalam tradisi Islam yang berbahasa Persia, apalagi di lingkungan keagamaan India, "pribadi" atau "diri” (khûdî) sangat negatip artinya dan harus diberantas malah dihapuskan dengan mempersatukannya kembali dengan asal-mulanya di dalam dhat ilahi. Tetapi selain penolakan muncullah pula suara-suara yang sangat menyetujui, dan merekalah yang melandas jalan ke masa depan. Iqbal sendiri rupanya menyadari bahwa umatnya belum siap untuk menerima seruannya :

"Aku suara penyair dari dunia 'kan datang
Zamanku sendiri tak paham maknaku mendalam

(Asrâr-i khûdî, terj. B. Rangkuti, hal. 112)

« ÎnapoiContinuă »