Imagini ale paginilor
PDF
ePub

ngan Belanda, karena pejuang gerilya kita masih aktif, masih giat merongrong dan melancarkan serangan terhadap Belanda. Serangan physik dan pertempuran yang dilancarkan mempunyai fungsi sebagai penekan dan merupakan kartu unggul yang harus dimanfaatkan di meja perundingan oleh para diplomat. Di sinilah arti penting kata bersayap Jendral Soedirman: "Satu-satunya hak milik bangsa dan negara yang tidak kenal menyerah adalah Tentara Nasional Indonesia." Tentara Nasional Indonesia waktu itu walaupun berseragam campur aduk, bersenjata physik seadanya, namun benar-benar menjalankan fungsi utamanya, mempertahankan negara proklamasi, sekuat tenaga dan sepenuh hati. Dalam mempertahankan negara proklamasi itulah, TNI pada bulan September 1948 menumpas pemberontakan PKI di Madiun yang bertujuan menegakkan negara komunis di Indonesia. Dalam mempertahankan negara proklamasi itulah, Jendral Soedirman, pada 19 Desember 1948 dengan paru-paru sebelah, memilih perjuangan bersenjata melawan Belanda. Pimpinan Nasional dalam diri Bung Karno, Bung Hatta dan beberapa tokoh lagi ditangkap Belanda. Jendral Soedirman tetap melanjutkan perjuangan bersenjata. Perang gerilya yang dilancarkan TNI, termasuk antara lain Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap Yogya yang dipimpin Letkol Soeharto (sekarang Presiden) tentunya juga merupakan kartu dan bukti yang membuka mata dunia bahwa Republik Indonesia masih tetap ada sekalipun beberapa pimpinan Nasionalnya ditangkap Belanda.

Sudah barang tentu, disamping perjuangan di medan pertempuran, tidak berarti diplomasi diremehkan. Begitupula faktor lingkungan internasional seperti dukungan negara-negara sahabat seperti India dan Australia. Faktor politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Belanda, faktor dalam negeri Belanda sendiri yang mengadakan pemilihan umum tahun 1948. Semuanya itu kait berkait dan kemudian memang harus dikembalikan bahwa, hanya berkat ridho dan perkenan Tuhan Yang Maha Kuasa, maka bangsa Indonesia berhasil melewati kancah perjuangan sengit menegakkan dan mempertahankan proklamasi.

Gabungan perang gerilya dengan operasi diplomatik, gabungan intrik politik dengan semangat anti-kolonial, antara ambisi pribadi dan golongan dengan cita-cita luhur dan semangat kenegarawanan. Semuanya ini jalin menjalin selama periode lima tahun pertama usia negara Indonesia. Bahwa kemudian kita berhasil keluar secara utuh dan masih survive pada tahun 1950 ini adalah salahsatu hasil pokok yang sangat penting artinya untuk pembinaan bangsa dan karakter bangsa dimasa depan.

Apabila Angkatan 45 sebagai angkatan pendobrak ingin mewariskan kepada generasi sekarang dan yang akan datang, suatu jiwa dan semangat 45, maka yang harus diwariskan adalah jiwa dan semangat perjuangan tanpa pamrih dalam menegakkan dan mempertahankan Negara Proklamasi.

Konsensus Nasional selama periode itu adalah satu kesepakatan secara batiniah bahwa yang paling pokok adalah menyelamatkan Republik

Proklamasi. Ini adalah satu 'tugas suci'. Intrik politik dan ambisi golongan atau pribadi boleh saja mencoba dan mengusahakan kegiatan politik sektaris, tapi apabila yang diancam adalah eksistensi negara, maka intrik dan kegiatan politik tersebut pasti akan ditumpas oleh bagian terbesar pimpinan Nasional dan didukung rakyat banyak demi menyelamatkan negara dan bangsa. Ini adalah satu 'achievement' penting yang harus dilihat sebagai sumber inspirasi bagi generasi pembangunan yang akan datang. Dalam hal ini, apabila generasi 45 menghadapi musuh yang riil yaitu Belanda dan tantangan yang juga riil, yaitu kehilangan kemerdekaan, maka generasi sekarang menghadapi musuh yang abstrak, keterbelakangan dan kemiskinan dan ancamannya juga dianggap tidak seserius seperti periode 45-50. Inilah salahsatu perbedaan kadar, selain perbedaan dimensi waktu situasi, kondisi dll., yang membedakan pengertian semangat 45 dan semangat yang harus dan akan diwariskan kepada generasi yang akan melanjutkan perjuangan Angkatan 45.

Masih banyak bahan yang perlu dan bisa digali dalam masa perang kemerdekaan. Untuk sementara, berdasarkan bahan penelitian yang telah dilakukan dan tersedia, beberapa kesimpulan pokok tentang ciri-ciri periode 45-50 bagi pembinaan karakter bangsa dapat kiranya dirumuskan seperti berikut :

1. Jiwa dan semangat 45 adalah jiwa dan semangat yang tumbuh dan berakar pada setiap patriot Indonesia. Tumbuhnya meluas kesegenap lingkungan masyarakat, horizontal maupun vertikal (di pelbagai daerah dan di pelbagai golongan, pimpinan maupun massa).

2. Jiwa dan semangat itu adalah tekad untuk menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan, dengan beaya apapun, termasuk nyawa dan tanpa pamrih.

3. Jiwa dan semangat itu berhasil mengalahkan ambisi golongan, ambisi pribadi maupun intrik politik yang tumbuh secara inhaeren dan naluriah pada setiap kelompok manusia, dimanapun di dunia ini.

4. Jiwa dan semangat itu berhasil mengalahkan nafsu kolonial yang mencoba merebut kembali kedaulatan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri.

5. Jiwa dan semangat itu berhasil mengantarkan negara Republik Indonesia untuk mulai membangun dirinya sendiri setelah perang kemerdekaan.

Secara konkritnya, segenap potensi bangsa Indonesia waktu itu (tentunya tidak termasuk mereka yang memang sadar anti-Republik dan proBelanda) betul-betul telah bersatu hati, bertekad bulat, dan mengesampingkan segala macam ambisi dan kepentingan golongan, melawan ancaman musuh bersama dan mencapai tujuan bersama, mempertahankan kemerdekaan. Konsensus Nasional inilah, yang walaupun tidak dirumuskan dan tidak diindoktrinasikan secara sengaja, telah tumbuh dengan wajar dan naluriah. Kemerdekaan adalah yang harus dikejar dan diperoleh, bukan keunggulan satu golongan politik. Kemerdekaan adalah yang harus ditegakkan dan bukan panji-panji ideologi tertentu.

Moratorium tentang ini, tidak pernah diikrarkan. Bahkan sebaliknya, kudeta 3 Juli maupun pemberontakan Madiun dan macam-macam pergolakan lainnya, menunjukkan adanya sekelompok orang yang justru mencoba menterapkan permainan politik kasar secara Machiavelis untuk mencapai tujuan politik sektaris. Namun terbukti, penyimpangan dan penyelewengan yang terlalu ekstreem dan bertujuan lain dari cita-cita Proklamasi 17 Agustus, senantiasa gagal. Kondisi dan Konsensus Nasional yang bersatu padu mengemban tugas suci itulah yang harus diciptakan untuk menghadapi perempat terakhir abad ke-XX ini. Perbedaan pendapat, ambisi golongan dan kepentingan politik, yang sekarang ada dan tumbuh dalam masyarakat harus dihadapi secara wajar. Itu merupakan gejala universiil dan menzaman serta permanen. Yang pokok adalah bagaimana menciptakan Konsensus Nasional baru dalam mengisi kemerdekaan. Proses mengisi Kemerdekaan yang telah diperjuangkan melalui perang kemerdekaan inilah yang harus dikobarkan. Sejarah perang kemerdekaan dapat merupakan sumber inspirasi apabila kita mengetahui dan merenungkannya dengan sebaik-baiknya.

Sekedar perbandingan situasi dan kondisi

Setiap generasi dan kurun waktu mempunyai ciri tersendiri. Suatu niat gegabah yang hendak memaksa generasi muda Indonesia sekarang agar mewarisi secara harfiah nilai-nilai 45 yang abstrak dan juga dogmatis hanya akan menimbulkan frustasi bagi generasi 45.

Penulis berpendapat yang harus diwariskan adalah mutu, kwalitas dan kadar semangat yang tinggi, yang menghidupi Angkatan 45 dalam perjuangan tahun 45. Mutu, kwalitas dan kadar semangat yang tinggi itulah yang harus senantiasa dihidupkan dan diwariskan. Tapi semua itu tentunya harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi, jika kita bicara soal operasionilnya, soal penjabaran pragmatisnya, soal konkretisasi programnya.

Apabila kita telaah tentang ciri-ciri jiwa dan semangat 45 yang telah kita kupas di halaman 5, maka harus diingat bahwa jiwa dan semangat itu tumbuh, di alam suatu masyarakat yang relatif lebih homogen. Paling tidak, homogenitas itu adalah dalam konsensus, bahwa segala sesuatu yang menyangkut heterogenitas akan diselesaikan setelah kita sendiri mengurus masalah bangsa sendiri, setelah kemerdekaan. Demikianlah orang bersatu padu berjuang untuk menegakkan kemerdekaan dan negara proklamasi, karena yakin dan percaya bahwa kemerdekaan itulah kunci satu-satunya, jembatan emas, dan pintu gerbang yang akan membawa mereka kepada segala sesuatu yang lebih baik, kehidupan politik, ekonomi, sosial, rohaniah dll. Keyakinan inilah yang harus ditransfer kedalam generasi sekarang, berupa suatu keyakinan lain yang sekaligus bisa membangkitkan elan semangat seperti semangat perjuangan 45. Ibarat mata uang yang harus ditukar. Dewasa ini, semangat 45, dalam bentuk semangat anti-kolonial dan perang gerilya harus disesuaikan dengan situasi baru.

Banyak teori politik yang elementer mengemukakan bahwa kerjasama yang paling sukses dan efektif adalah kerjasama menghadapi musuh atau ancaman bersama. Waktu periode perang kemerdekaan, musuh itu jelas physiknya maupun aspirasi (kolonialnya), yaitu Belanda. Sekarang, musuh itu harus diciptakan, setidaknya kalau kita masih terpengaruh teori bahwa untuk mempersatukan berbagai golongan, perlu diciptakan musuh bersama. Tentu saja lebih ideal kalau tidak perlu berbicara dalam bahasa reaktif yaitu melawan sesuatu, tapi dalam bahasa aktif dan kreatif yaitu menuju sesuatu.

Perang Kemerdekaan jelas melawan Belanda dan menuju kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, apa? Bagaimana cara mengisi kemerdekaan? Perdebatan mengenai program pengisian kemerdekaan ini sudah berlangsung 25 tahun. Semuanya dengan akibat dan konsekwensi yang sampai sekarang masih terasa oleh bangsa Indonesia. Demikianlah generasi sekarang menghadapi situasi dan kondisi yang makin rumit dan berbeda dimensinya maupun ruang lingkupnya dengan situasi dan kondisi 45. Benarlah apa yang dikatakan Dr. H. Ruslan Abdulgani bahwa setiap generasi mempunyai nilai patriotisme-nya sendiri yang tidak bisa dipaksakan oleh orang lain.

Sudah sering terdengar dialoog yang ringan tapi sebetulnya mengandung makna filsafat antara dua wakil dari generasi 45 dan generasi muda. Sang Bapak bersungut-sungut: "Dulu waktu Bapak seumur kamu, terpaksa meninggalkan sekolah, berjuang bersama teman teman melawan Belanda. Sekarang kamu terlalu manja". Sang anak menjawab : "Lain dulu, lain sekarang. Dan yang lebih penting, waktu itu, memang semua pemuda pada umumnya berjuang dimedan pertempuran". Kalau diteruskan, niscaya maksud sang anak adalah menyodorkan fakta bahwa sekarang ini perbedaan menyolok antara sekelompok anggota masyarakat dengan bagian terbesar masyarakat, merupakan salahsatu penghambat tekad perjuangan. Bahwa salahsatu perbedaan hakiki antara situasi 45 dan sekarang adalah dulu ada homogenitas, sekarang heterogenitas agak menonjol.

Dan yang harus menanggung semua situasi dan kondisi ini adalah generasi penerus. Tidak semua generasi 45 ikut terlibat dalam proses 25 tahun pembinaan negara setelah revolusi physik khususnya dalam penyakit mental pamrih dan mumpung yang ikut membonceng dibelakang dalih dan partisipasi dalam pembangunan. Kekeliruan yang terjadi dalam proses pembinaan bangsa dan negara dan konsekwensinya di bidang sikap mental, misalnya soal korupsi, bukanlah monopoli angkatan 45. Semua kita terlibat di dalamnya, termasuk angkatan angkatan yang tumbuh di belakang angkatan 45. Permainan politik praktis, intrik dan ambisi pribadi atau golongan, semua itu jalin menjalin. Banyak juga yang merupakan kelanjutan dari pertentangan politik sejak awal berdirinya negara kita. Dalam hal ini penulis berpendapat memang tidak ada generation gap. Yang salah bukan cuma oknum oknum Angkatan 45. Yang benar sendiri belum tentu mesti dari Angkatan 66. Tepat seperti apɗ

yang dikatakan Presiden Soeharto yang penulis kutip pada awal esei ini. Jangan mempersoalkan siapa salah, siapa benar.

Apabila kita memang sudah bertekad ingin mengisi kemerdekaan, maka nilai nilai 45 yang dulu itu bukan cuma harus diwariskan kepada generasi muda yang tidak mengalami revolusi physik.

Penulis berpendapat, justru juga generasi yang sekarang memegang tampuk pemerintahan negara, harus memperoleh kembali nilai, jiwa dan semangat 45 itu. Mereka yang telah melempem, kehilangan arah dan pegangan idiil, tenggelam dalam pola kehidupan materialistis, pola kehidupan mumpung, penuh pamrih dan menuntut balas jasa (bukan dengan cara wajar, tapi dengan mengorbankan kepentingan masyarakat banyak), mereka inilah yang harus ditatar kembali dengan jiwa dan semangat 45. Mereka harus menghayati kembali jiwa 45, berjuang untuk kepentingan seluruh bangsa dan bukan untuk diri pribadi. Yang dipertaruhkan sekarang ini tidak kalah pentingnya dari kemerdekaan itu sendiri. Yang dipertaruhkan adalah identitas kita sebagai bangsa, apakah kita akan mewariskan bangsa dan negara yang kuat, kreatif, produktif, berinisiatif dan mempunyai kedudukan terhormat di kalangan internasional atau bangsa yang lemah karena pada dirinya melekat penyakit retak-jiwa.

Yang dipertaruhkan adalah, apakah sinyalemen yang pernah diucapkan oleh tokoh proklamator kita, Bung Hatta, tentang korupsi yang sudah menjadi kebudayaan, akan merupakan ciri bangsa kita di masa depan atau tidak.

Yang dipertaruhkan di sini adalah nasib bangsa kita dibanding nasib sekian gelintir oknum yang menuntut pamrih lebih dulu secara berlebihan, dengan mengorbankan kepentingan nasib dan bangsa kita dalam pergaulan internasional. Akibat korupsi bukan sekedar timbulnya oposisi yang mengganggu stabilitas. Akibat korupsi yang lebih luas adalah, ia mempengaruhi kesanggupan bangsa Indonesia untuk berdiri sebagai bangsa yang kuat. Di samping itu, seperti sering dicanangkan oleh Letjen purn. T.B. Simatupang, korupsi akan membawa pemerintahan kita kepada pola rezim Kuomintang di daratan Cina dulu, dan sebagai eksesnya merupakan peluang subur bagi komunisme. Ya, komunisme sebagai momok, inilah yang perlu dicanangkan. Kalau dulu kolonialisme Belanda ingin menjajah kembali RI melalui pelbagai macam cara, demikian pula halnya dengan komunisme. Mereka ingin 'come back' di Indonesia, melalui pelbagai jalan. Salahsatu tentunya melalui pola penciptaan kondisi Kuomintangisme. Atau seperti dikatakan Ruslan Abdulgani bahwa di Vietnam itu sebetulnya Amerika-lah yang memojokkan orang Vietnam jadi komunis, "American-made communism".

Jadi apabila kita kembali kepada periode 45-50, dan menelaah secara saksama dan mendalami motivasinya, mengapa perjuangan itu berhasil walaupun melalui pelbagai tantangan, maka jawabnya adalah homogenitas dan solidaritas Nasional yang kuat sekali untuk melawan kolonialisme Belanda. Motivasi inilah yang harus diciptakan sekarang, de

« ÎnapoiContinuă »